Friday, April 27, 2007

Buku Impor vs Buku Terjemahan


Semalam aku menyampuli buku Stiglitz-ku, sudah lama kubeli, hanya baru sekarang aku sempat melakukannya. Buku ini merupakan terjemahan dari buku aslinya yang berjudul The Roaring Nineties: A New History of the World’s Most Prosperous Decade. Diterbitkan di New York. Diterjemahkan ke dalam edisi Bahasa Indonesia menjadi DEKADE KESERAKAHAN : Era '90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia. Dan dengan bangga penerbitnya memamerkan bahwa buku ini dilengkapi pengantar khusus edisi Indonesia yang ditulis oleh Stiglitz sendiri, khusus untuk edisi Indonesia ini.

Pihak redaksi sempat menceritakan kesulitan yang dialami untuk mendapatkan pengantar khusus ini, bahkan penerbitan buku pun sempat mundur untuk menunggu selesainya pembuatan kata pengantar tersebut.

Penerjemahan dan penambahan kata pengantar tentu berarti biaya. Biaya yang tidak perlu dikeluarkan oleh penerbitnya di New York.

Tapi kenapa harga buku import itu justru jauh lebih mahal dibanding buku terjemahannya di sini? Bahkan harga buku impor sebelum ditambah biaya pengiriman pun sudah jauh lebih mahal. Misalnya untuk buku Roaring tadi di Amazon , sebelum ditambah shipping dan import fee, harganya $24.65, dengan kurs hari ini jadi sekitar Rp 223.822,00. Padahal harga edisi Indonesia dari penerbitnya hanya Rp 63.500,- *perasaan, waktu aku beli harganya malah lebih murah dari itu*.

Jadi menurutku kemungkinan masalahnya ada di biaya cetak. Mungkin tinta di sini memakai yang aspal, kualitas kertas yang kurang bagus atau juga tenaga kerja yang lebih murah? Atau karena di sini lebih dekat dengan semua bahan produksi itu?

Jadi, tanpa bermaksud menentang penerbitan buku-buku terjemahan, bisa nggak sih, buku-buku dari luar yang memang mau dipasarkan di sini, di cetak di Indonesia saja? Tanpa biaya penerjemahan tentunya bisa membuat harga jualnya lebih murah dibanding harga buku terjemahan, bukan? * berdasar hukum ekonomi, jika harga turun permintaan akan naik :p. Orang Indonesia bakal tambah pinter*

Apa itu akan membunuh industri buku terjemahan? Ya, nggaklah! walaupun nanti harganya lebih mahal, banyak orang yang akan memilih membeli edisi Indonesia, karena nggak mau pusing membaca dalam bahasa asing jadi rela aja bayar lebih mahal sedikit.

Begitu nggak sih?
Setuju?

*lagi mulai menunggu datangnya Harry Potter terakhir*

No comments: