Saturday, October 22, 2011

Gambaran

Setiap kali menonton drama seri Korea yang paling saya rasakan, di samping ceritanya yang bikin menye-menye, adalah betapa indahnya Korea. Indah, pohon dan bunga di mana-mana dan sangat bersih.
Heavenly for living.

Iya...tentu saja tidak seluruh Korea Selatan seperti itu. Tapi karena hampir semua drama Korea menampilkan hal serupa jadi ya, gambaran Korea Selatan seperti surga itu yang terbentuk.
Tidak sedikit yang jadi berpikiran untuk menabung dan jalan-jalan ke sana ; atau mencari beasiswa dan sekolah di Korsel.

Sementara, apa sih gambaran yang sudah berhasil di bentuk oleh film dan sinetron kita tentang Indonesia?
Negara penuh hantu? Rumah-rumah besar dengan gaya artifisial? Kumuh?
Kalaupun ada yang mau shooting di Papua atau Belitong sepertinya pengaruh kecil, karena bukan mainstream.
Hal yang hampir serupa terjadi untuk buku-buku Indonesia, sepertinya mainstream masih didominasi teenlit dan chicklite. Tetapi rasanya semua setuju, siapapun pembaca Laskar Pelangi pasti jadi ingin ke Belitong (paling tidak akan search image di google), pembaca Rahasia Meede jadi ingin menyelidiki rumah bawah tanah Musium Fatahillah di Kota Tua, pembaca 5cm jadi penasaran dengan Ranukumbolo dan ingin mendaki sang Mahameru.


*Ohya serunya nonton drama Korea juga karena jaket dan tasnya lucu-lucu :p

Friday, October 14, 2011

Kulkas




Sepertinya benar kata Sudjiwo tedjo -jarang-jarang lho aku sepaham dengan beliau- karena manusia punya kulkas -punya kecenderungan untuk menimbun-, manusia jadi serakah.... apa-apa mau dikumpulkan, disimpan, numpuk-numpuk barang sampai orang lain tidak kebagian.
Kulkas sekarang tambah lama tambah gede kan?
Padahal seberapa besar sih, perut kita?

Numpuk-numpuk harta, dengan segala cara.
Sampai berapa lama sih kita hidup?
Buat warisan anak cucu? Kata Bill Gates, itu justru menghilangkan hak anak untuk berjuang

Terimakasih, Malaysia




Rasanya sudah selayaknya kita berterimakasih pada tetangga kita, Malaysia.
Mengapa?
Siapa yang membuat batik begitu membumi merakyat seperti sekarang ini?
Jawabnya: tetangga kita Malaysia
Ketersinggungan kita sebagai bangsa yang merasa menjadi keturunan pencipta batik,
membuat kita penuh amarah saat, Malaysia memperkenalkan batik ke mana-mana sebagai miliknya.
Sehingga muncul "gerakan nasional" memakai batik.
Pada hari itu, 2 Oktober 2009, perbandingannya di antara 10 orang yang aku jumpai memakai batik, paling tidak 8 orang berbatik.
Sejak itu pula, Inacraft dan bazar-bazar didominasi batik dengan model, material yang semakin berkembang, pemakai batik tidak hanya PNS, orang-orang tidak lagi merasa seperti mau kondangan kalau pakai batik.

Kita jadi tahu ada dua pulau di jajaran kepulauan nusantara yang bernama Sipadan dan Ligitan.
Kita jadi tahu reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayange; wayang; kulintang; angklung; tahu ada petugas Kelautan yang pekerjaannya penuh bahaya, dimodali kapal tua dan tanpa senjata.
Karena apa? Mungkin karena kecelamitannya Malaysia.
Hey..... mungkin kita yang kekanakan ini, perlu diingatkan untuk lebih menjaga dan menghargai semua milik kita. Dan sepertinya peringatan model itu, cocok buat kita. Seperti anak-anak, kalau nggak ada yang minat, mainan dicuekin. begitu ada yang bilang mau pinjam langsung direbut, " Ini punya aku!"

Sudah deh, capek ribut. Tetanggaan baik-baik aja gimana?
Eh, besok beli baju batik lagi yuk?