Friday, August 10, 2007

Why I love Harry Potter (so much)


Agak basi mungkin, mohon dimaafkan soalnya baru seminggu terakhir ini bisa baca buku terakhirnya.

*Untuk menghargai semua yang belum baca Harry Potter and the Deathly Hallows, tidak akan ada spoiler di sini. Janji!*

Terlepas dari hal – hal remeh-temeh tapi kadang menimbulkan pertanyaan seperti misalnya kenapa nggak tinggal berseru “accio” atau tinggal ber-apparated/disapparated , membaca Harry Potter selalu memuaskan, antara lain karena:

  • Ceritanya jarang yang bisa kutebak arahnya. Mungkin akunya aja yang males mikir atau juga kalau baca Harry Potter lebih enak untuk tinggal baca dan hanyut di dalamnya tanpa terlalu perlu untuk meributkan ke mana cerita dari satu per satu buku itu akan berakhir.
  • Kalau dibaca ulang biasanya akan menimbulkan seruan, "oooo...jadi maksudnya begitu?" atau "lhaaaa... ini kan...?"
  • Hebatnya kemampuan JKR untuk membuat jalinan cerita dari buku 1 sampai buku 7 yang saling terkait dan seru. Seolah ada satu dunia kecil yang dia ciptakan satu hal kait-mengait dengan hal- hal lain. Walaupun sempat agak membosankan di buku 4 dan 5 serta agak- agak kebanyakan dosis siapa pacaran dengan siapa di buku 6, tetapi di buku terakhir hampir semula hal yang menjadi tanda tanyaku bisa dijawab dengan memuaskan.
  • Walaupun harus (?) membuat cerita yang panjang, lebar dan rumit, JKR rajin memberi detail-detail kecil dimana-mana. Nggak cuma hal-hal kecil yang nantinya jadi petunjuk buat buku-buku berikutnya, tetapi juga joke-joke yang tidak membuat kita merasa terpaksa untuk tersenyum bahwa tertawa.
  • JKR punya kecenderungan untuk bercerita segala sesuatu secara detail, kadang memang membosankan, tapi seringnya hal itu yang membuat kita larut dalam cerita * seringnya sambil nangis-nangis :p*
  • Tokoh-tokoh dalam Harry Potter manusiawi. Tidak ada protagonis yang benar-benar bersih dari kesalahan, Harry seperti kita tahu sering melakukan hal-hal yang aku sendiri sebel bacanya, Hermione juga, bahkan termasuk Dumbledore. Dan yang antagonis juga masih punya kehormatan dan cinta (yang udah baca buku 7 akan tahu siapa-siapa itu, ohhh… tentunya bukan Voldemort atau Dolores Umbrige)

Tentang Harry Potter and the Deathly Hallows

  • Dari mulai bab 2 udah bikin nangis-nangis, tambah ke belakang mata tambah bengkak terutama di bab 24 dan 33 (u’ll know y). *selain karena emang udah beberapa hari kurang tidur*
  • Ini buku anak-anak, it’s supposed to, tapi di beberapa bab ada tu bagian yang perlu disensor.
  • Ternyata mudah untuk merubah sebal menjadi salut atau bahkan sayang. Cuma tinggal merubah sudut pandang.
  • Buku penutup dengan ending yang memuaskan, walaupun cukup terganggu dengan epilog terakhir yang menurutku nggak terlalu perlu. Tapi yang nggak apalah karena memang ini toh buku anak-anak :p dan menurutku bab ini adalah bab persembahan untuk sang pencinta itu

Sepertinya mau mengulang baca, mungkin malah dari buku pertama. Iya, tentu, setelah perbaikan tesis selesai. Segera

update:
Tentang Harry Potter yang nggak ada di buku:
J.K. Rowling goes Beyond the Epilogue



Wednesday, June 06, 2007

Tentang Album Padi yang nggak juga Keluar

  • Album PADI ke 4 resmi diluncurkan pada 9 Mei 2005 dan sukses membukukan angka penjualan pertama (shipout) lebih dari 300 ribu kopi. Untuk itu PADI berhak atas sertifikasi double platinum, sebuah prestasi yang membanggakan, sebuah awal optimisme bahwa album ini sudah ditunggu oleh para SOBAT PADI. –-masa itu sudah dua tahun satu bulan berlalu--
  • Rencananya Bulan Agustus 2006, Padi berencana mengeluarkan album yang berisi lagu-lagu perjuangan (ada juga yang bilang lagu klasik ) Indonesia yang diaransemen ulang, disesuaikan dengan karakteristik musik Padi. Tapi rencana itu gagal (tertunda…?) karena komputer yang hang. –Entah benar atau tidak alasan itu, moral of the story adalah back up…back up…back up….saudara-saudara!!---
  • Waktu terus berlalu, kemudian kelihatannya Padi cukup disibukkan dengan profesi sampingannya sebagai model iklan. ---agak-agak bete lihatnya gara-gara yang barengan jadi model lainnya adalah band ini---
  • Piyu sibuk dengan mainan baru. Nggak cuma baru punya anak tetapi juga memproduseri band baru, yang kabarnya mirip-mirip Padi. –Kayaknya aku belum pernah denger :( ---
  • Muncul lagi kabar bahwa Padi sedang menyiapkan materi lagu baru untuk album baru. "Yang jelas, di album baru ini kita akan lebih nge-beat seperti lagu Sobat di album pertama kita," kata Piyu. Dan katanya dijanjikan akan rilis Bulan April 2007 ----tapi manaaa...? April sudah lewat :( ---
  • Pertengahan April 2007, muncul lagi berita kalau Fadly terkena Vocal Nodule. Orang yang mengalami penyakit seperti ini, suaranya bisa parau atau malah hilang sama sekali. Hal ini bisa disebabkan karena penggunaan suara yang berlebihan dalam waktu yang cukup lama, misalkan berteriak atau berbicara dengan suara keras. Karena keadaan ini, Fadly diminta oleh dokter untuk menghentikan aktivitas bernyanyi selama kurang lebih 6 minggu!--huaaaaaa.....:(( --
  • Pertengahan Mei 2007, kabarnya Fadly udah bisa mulai take vokal --THANKS GOD--

Peringatan Penulis:

Tulisan ini dibuat karena lagi stress , ditambah lagi udah capek bolak-balik muter album Padi 1 – 2 – 3 - 4 balik 1 - 2 - 3 - 4 balik lagi 1 - 2 ….dst. Dan semakin lama semakin merasa bener-bener butuh album Padi baru (dan butuh… udara segar…jalan-jalan… makan-makan :p ). So, Padi pleaseeeeeeeeeeeee…..hurry up

Thursday, May 31, 2007

Stella Awards

Pernah nonton Ally McBeal? Atau rajin baca novel John Grisham? Atau film-film berlatar belakang hukum dan pengadilan lain?

Yang menjawab iya, tentu tahu, kalau pengadilan di USA sana kadang memperkarakan hal-hal yang buat kita aneh… remeh temeh…nggak penting...konyol.

Seperti ada satu episode Ally McBeal tentang tuntutan seorang editor majalah feminis yang dipecat gara-gara ia memeluk agama baru yang memandang perempuan lebih rendah dari pada laki-laki, pembaca acara TV yang dipecat gara-gara dianggap mulai tua… (Ally bilang “do it ..sue, do it sue, do it do it do it.. sue sue sue …. “ Hehehe….).

Bahkan di salah satu novel Grisham pernah diceritakan tentang pengacara yang kerjanya memburu tempat kecelakaan, hanya untuk membujuk korban agar mengajukan tuntutan melalui biro hukumnya. Pengacara semacam itu biasanya disebut Grisham “pengacara kelas malam” karena mereka bisa jadi pengacara setelah mengambil kelas hukum yang diadakan sekolah hukum kelas kambing di malam hari (padahal Ally dari Harvard?).

Di Indonesia, sepertinya hal semacam itu cuma dongeng, sistem hukum di Indonesia belum mampu merambah hal-hal semacam itu, atau mungkin juga kesadaran masyarakat tentang hukum juga masih cukup rendah.

Kalau nggak, tentunya korban lumpur panas di Porong sudah dikerubuti pengacara-pengacara rakus untuk mengajukan class action dan kekayaan salah satu menteri kita bakal tinggal kenangan.

Tetapi di USA sana pengadilan semacam itu benar-benar terjadi bahkan sudah menjurus pada tingkat yang keterlaluan, karena tidak hanya sampai pada batas melindungi korban tetapi dengan memanfaatkan celah-celah hukum bisa menjadi cara untuk mencari keuntungan bagi orang-orang yang rakus. Mungkin contoh sepelenya kalo di sini, adalah korban tertabrak mobil yang akan meminta uang dalam jumlah besar sebagai ganti rugi agar penabrak tidak perlu berurusan dengan polisi.

Karena dianggap sudah keterlaluan, muncul Stella Awards yang disponsori oleh organisasi pengacara USA, yaitu penghargaan bagi pengajuan gugatan yang paling konyol. Nama penghargaan itu berasal dari nama seorang perempuan bernama Stella Liebeck. Stella mengajukan gugatan terhadap McDonald’s karena pangkuannya terkena tumpahan kopi panas saat ia hendak menambahkan gula dan krim ke dalam kopi. Stella memenangkan gugatannya dan juri memutuskan ia mendapat ganti rugi sebesar $640,000. Walaupun kejadian itu terjadi di dalam mobilnya sendiri, dan terjadi karena keteledorannya sewaktu meletakkan kopi panas di pangkuannya bukan di tempat lain yang lebih aman.

Pemenang Stella Awards tahun 2006 adalah:

#5: Marcy Meckler. Selesai berbelanja di mall, Meckler keluar dari mall dan mendadak diserang oleh tupai yang hidup di antara pohon-pohon dan semak-semak. Saat hendak berusaha lari dan melepaskan tupai dari kakinya, ia terjatuh dan terluka cukup parah. Meckler mengajukan gugatan, karena menganggap hal tersebut sebagai kesalahan mall, ia menuntut ganti rugi sebesar $50,000, karena mall dianggap lalai tidak memberi peringatan kepadanya bahwa ada tupai yang hidup di luar mall.

#4: Ron dan Kristie Simmons. Pasangan dengan anak berusia 4 tahun, Justin, yang terbunuh secara tragis karena kecelakan akibat alat pemotong rumput (lawnmower ) pada fasilitas yang dimiliki tempat bermain anak (a licensed daycare) dan kematian tersebut jelas terjadi karena kelalaian penyelenggara daycare. Sehingga memang patut untuk digugat, tetapi saat Simmons mengetahui bahwa the daycare hanya memiliki asuransi sebesar $100,000, mereka membatalkan kasus terhadap mereka dan memilih untuk menggugat pabrik pembuat lawn mower tua berumur 16 tahun karena mower tersebut tidak memiliki perangkat keselamatan yang 1) belum ditemukan saat mower dibuat, dan 2) belum ada lembaga keselamatan yang menyarankan perlunya ditemukan perangkat tersebut. Tetapi juri yang bersimpati memberikan kemenangan pada pasangan tersebut dengan uang ganti rugi sebesar $2 juta.

3# Robert Clymer. Seorang agen FBI di Las Vegas, Clymer mengalami kecelakaan saat mengendarai truk pickup—kadar alcohol dalam darahnya 0.306%, tiga kali melebihi batas ijin untuk mengemudi di Nevada. Iatidak mengaku bersalah karena mabuk saat mengemudi tetapi ia justru menggugat pabrik yang memproduksi truknya dan dealer tempat ia membeli truk tersebut, karena menurutnya "entah bagaimana ia hilang kesadaran" dan truk "entah bagaimana mengeluarkan asap pekat yang memenuhi ruang kemudi”.

#2 KinderStart.com. Mesin khusus pencari ini menyatakan bahwa Google harus dipaksa untuk memasukkan the KinderStart site dalam listnya, sesuai cara kerja "Page Rank"nya, dan membayar sejumlah besar uang kepada pesaingnya itu.

Pemenangnya adalah: Allen Ray Heckard. Walaupun Heckard lebih pendek 3 inchi, 25 pounds lebih ringan dan 8 tahun lebih tua dibanding Michael Jordan, tetapi orang-orang mengatakan ia terlihat mirip Michael Jordan, dan hal ini sering membingungkannya – sehingga ia merasa layak atas uang sebesar $52 million "for defamation and permanent injury" -- ditambah $364 million karena "punitive damage for emotional pain and suffering", dan menuntut jumlah yang sama dari pendiri Nike, Phil Knight, dengan total sejumlah $832 million. Ia membatalkan tuntutannya setelah bertemu dengan pengacara dari Nike dan diterangkan gugatan balik yang harus dihadapinya jika ia tetap mengajukan tuntutan tersebut.

Tetapi selain kejadian nyata tersebut juga banyak beredar cerita-cerita tentang gugatan konyol yang ternya palsu, juara dari cerita palsu itu adalah:

Merv Grazinsky dari Oklahoma City. Pada November 2001, Grazinsky membeli sebuah mobil caravan Winnebago sepanjang sekitar 9 meter. Dalam perjalanan pertamanya menuju rumah, ia melewati jalan tol, menyetel radio sambil menyetir dengan kecepatan pada 70 mph. Lalu dengan santai, Grazinsky meninggalkan kursi supir ke belakang untuk membuat secangkir kopi . Tidak mengherankan, kendaraan itu keluar dari jalan tol, menabrak, dan terguling. Grazinsky menggugat Winnebago karena tidak menyebutkan dalam buku petunjuk bahwa kendaraan itu tidak bisa melakukan hal tersebut . Ia mendapat ganti rugi sebesar $1.750.000 plus sebuah Winnebago baru . Akibat kasus ini, Winnebago akhirnya mengubah buku petunjuknya.

Monday, May 28, 2007

hape vs tingkat kenyamanan

Apa salah satu tanda kalau aku cukup nyaman dengan diriku sendiri atau merasa cukup dengan yang ada di sekitarku?*)

Jawabnya, kalau tidak ada hape di dekatku apalagi di tanganku.

Kebalikannya kalau aku nggak bisa jauh-jauh dengan hapeku itu tandanya ada orang lain (hal lain) yang jauh membuatku lebih nyaman atau lebih menarik atau lebih penting dibanding apa-apa yang sedang ada di dekatku.

Ada banyak orang punya hape lebih dari satu, bahkan aku kenal ada orang yang punya empat diulang…EMPAT hape, empat hape dengan empat nomor dari provider yang berbeda-beda.

Kalo aku asumsikan dengan jumlah alokasi waktu untuk berkomunikasi adalah tetap dan keberadaan hape sebanding dengan kebutuhan untuk berkomunikasi (tentunya, tidak dengan orang yang ada di dekat kita), artinya semakin banyak hape yang dimiliki semakin besar porsi ketidaknyamanan dengan lingkungan di dekatnya, ceteris paribus.

Hapeku cuma satu. Dan saat ini masih merasa cukup satu itu.

*) selain tidak menggeserkan jariku di permukaan ipod searah jarum jam, selain semakin tekun membaca buku, selain tambah dalam melamun :p


Met-Trivia

  • Teknologi hape mulai digunakan tahun 1970 yang diawali dengan penggunaan mikroprosesor untuk teknologi komunikasi. Dan pada tahun 1971, jaringan hape pertama dibuka di Finlandia
  • Martin Cooper dari Motorola dikenal sebagai penemu hape dalam bentuk yang ringkas. Percobaan untuk melakukan panggilan telepon pertama dilakukan pada tanggal 3 April 1973
  • SMS adalah salah satu dari sedikit jasa dalam sejarah konsumen yang tanpa mengalami penurunan harga dapat tumbuh dengan pesat.
  • Nokia Corporation saat ini merupakan pabrik hape terbesar di dunia dengan pangsa pasar sekitar 36% pada kuartal pertama 2007 ini
  • Di beberapa negara, di antaranya UK dan Hong Kong, jumlah hape yang beredar melebih jumlah penduduknya
  • BlackBerry diperkenalkan di tahun 1999, memiliki fasilitas seperti: push e-mail, mobile telephone, text messaging, internet faxing, web browsing dan jasa informasi tanpa kabel lainnya. Dikembangkan di Kanada oleh Research In Motion (RIM). Diberi nama "BlackBerry" karena menurut salah satu ahli penamaan, tombol-tombol pada produk RIM tersebut terlihat "like the tiny seeds in a strawberry," Tetapi kata straw dianggap tidak terlalu mengena, sehingga diubah menjadi blackberry. Dan RIM menerima usul itu
  • Akhir bulan September 2006, Telkomsel mengklaim telah memiliki 32,5 juta pelanggan dengan market share sekitar 55% dari pelanggan hape di Indonesia. Jika hal tersebut benar maka di Indonesia diperkirakan ada 60 juta hape yang beredar secara aktif di Indonesia. Sementara berapa jumlah pemiliknya tidak bisa dipastikan mengingat satu orang mungkin memiliki lebih dari satu nomor.

Gambar dari sini
Sumber: telkomsel wikipedia yahoo mobile

Cinta dan Amarah

Kekuatan cinta mampu membangunkan mata di pagi buta, untuk sekedar masak dan berangkat pagi. Tepat waktu.

Kekuatan cinta mampu membuat tubuh bersedia duduk berjam-jam untuk menunggu terpenuhinya janji yang tertunda.

Kekuatan cinta mampu menahan kaki yang terbiasa mengelana untuk bertahan di rumah, untuk menikmati hari-hari yang serupa.

Kekuatan cinta bahkan mampu menguatkan hati untuk bertahan dari hardikan dan kelicikan, demi sang cahaya mata.

Kekuatan cinta juga yang mampu menahan diri, untuk tidak berpaling atau pergi dari puing-puing yang tak beraturan. Bahkan cukup kuat untuk membangunnya lagi.

Sementara itu,

Kekuatan amarah tak kalah dahsyatnya mampu memporak-porandakan data.

Benar-benar tidak masuk akal….


p.s

buat yang merasa jadi tokoh di atas, jangan tersinggung ya?

Identitas dirahasiakan kok

Cuma… kalian kok gr banget sih?

Thursday, May 03, 2007

Perhentian berikutnya...

Tiga hari melarikan diri dari kantor
Dua hari aku habiskan bolak-balik ke perpustakaan CSIS di Tanah Abang

Gara-gara penasaran dan emang lagi super iseng, pulangnya aku mau coba naik busway koridor baru. Niatnya sih mau ke arah Ragunan, naik dari Halte BI.
Tapi berhubung nanyanya kurang lengkap dan nggak merhatiin jalan buntut-buntutnya malah nyasar dan turun di Kampung Rambutan. Hehehe…

Keberadaan busway ini memang masih jadi perdebatan. Kalau memang keberadaannya menambah macet dan mampu membuat orang-orang mengistirahatkan mobilnya dan memilih naik busway, itu yang diharapkan. Tapi nyatanya bukan seperti itu yang terjadi, sepertinya banyak pemilik kendaraan pribadi tidak sanggup berpisah dari mobilnya, selain memang keberadaan busway belum mampu menyaingi kemudahan dan kenyamanan yang diperoleh dari kendaraan pribadi.

Walaupun begitu, saat ini, dengan semakin panjang dan banyaknya koridor, Jakarta dapat dijelajahi dari ujung ke ujung hanya dengan uang tigaribu lima ratus rupiah.

Dari pengalamanku ada beberapa hal yang mengurangi kenyamanan busway:

  • Koridor yang paling nyaman baru koridor I. Mungkin karena memang yang paling lama, selain itu hampir seluruhnya memiliki jalur khusus busway, jadi lumayan bebas macet. Bandingkan dengan koridor VII (Kampung Rambutan-Kampung Melayu) yang masih bercampur dengan kendaraan lain selama menyusuri jalan raya Bogor yang hanya memiliki dua jalur.
  • Pengendara busway yang baru direkrut dari mantan pengendara metromini ya?
  • Naik busway memang hemat. Tetapi kompensasinya untuk berpindah koridor di halte penghubung harus menempuh jarak yang cukup jauh dan naik turun tangga miring. Iya sih, keringat bakal ilang pas udah masuk bus.
  • Kadang jarak antara pintu halte dengan pintu bus cukup jauh, jadi perlu berhati-hati. Entah karena memang posisi haltenya atau mungkin pengendaranya yang kurang jago. Kalau nggak salah udah pernah ada yang jadi korbannya
  • Harusnya ada peta jalur busway yang berbentuk selebaran, bukan hanya yang ditempel. Biar nggak nyasar dan petugasnya nggak capek nerangin. Tetapi busway memiliki situs yang isinya lumayan *lumayan kurang jelas, maksudnya* Keterangan yang cukup lengkap tentang busway justru bisa ditemukan di sini.
  • Koridor baru belum dilengkapi rekaman :”Perhentian berikutnya….” Kasihan, petugas yang jaga pintu harus teriak-teriak di tiap halte.

Tips naik busway:

  • Setelah berusaha mempelajari jalur-jalur koridor, tapi masih merasa belum yakin di mana saja harus berpindah koridor, jangan segan bertanya ke petugas atau penumpang lain yang terlihat sudah berpengalaman. Tanya sejelas-jelasnya
  • Siap-siap dengan plan B, kalau ternyata cara pertama juga tetap membuat kita nyasar. Misalnya mau ke Depok, nggak Cuma bisa dari Kp. Rambutan kalau udah terlanjur lewat Blok M atau Ragunan juga bisa. Paling apes kalau nyasar sampai Pulo Gadung pun ada Bis Patas AC 84 PuloGadung-Depok, hehehe…
  • Cuma, kalau baru kelewatan satu atau dua halte lebih baik langsung turun di halter terdekat, dan naik busway arah sebaliknya. Tenang, nggak bayar ini…
  • Busway selain kursinya empuk dan ber AC dingin, juga relatif aman dari copet. Tapi tetap nggak ada salahnya untuk waspada.
Sampai di halte tujuan.
Check your belonging and step carefully. Have nice trips, folks!

Friday, April 27, 2007

Buku Impor vs Buku Terjemahan


Semalam aku menyampuli buku Stiglitz-ku, sudah lama kubeli, hanya baru sekarang aku sempat melakukannya. Buku ini merupakan terjemahan dari buku aslinya yang berjudul The Roaring Nineties: A New History of the World’s Most Prosperous Decade. Diterbitkan di New York. Diterjemahkan ke dalam edisi Bahasa Indonesia menjadi DEKADE KESERAKAHAN : Era '90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia. Dan dengan bangga penerbitnya memamerkan bahwa buku ini dilengkapi pengantar khusus edisi Indonesia yang ditulis oleh Stiglitz sendiri, khusus untuk edisi Indonesia ini.

Pihak redaksi sempat menceritakan kesulitan yang dialami untuk mendapatkan pengantar khusus ini, bahkan penerbitan buku pun sempat mundur untuk menunggu selesainya pembuatan kata pengantar tersebut.

Penerjemahan dan penambahan kata pengantar tentu berarti biaya. Biaya yang tidak perlu dikeluarkan oleh penerbitnya di New York.

Tapi kenapa harga buku import itu justru jauh lebih mahal dibanding buku terjemahannya di sini? Bahkan harga buku impor sebelum ditambah biaya pengiriman pun sudah jauh lebih mahal. Misalnya untuk buku Roaring tadi di Amazon , sebelum ditambah shipping dan import fee, harganya $24.65, dengan kurs hari ini jadi sekitar Rp 223.822,00. Padahal harga edisi Indonesia dari penerbitnya hanya Rp 63.500,- *perasaan, waktu aku beli harganya malah lebih murah dari itu*.

Jadi menurutku kemungkinan masalahnya ada di biaya cetak. Mungkin tinta di sini memakai yang aspal, kualitas kertas yang kurang bagus atau juga tenaga kerja yang lebih murah? Atau karena di sini lebih dekat dengan semua bahan produksi itu?

Jadi, tanpa bermaksud menentang penerbitan buku-buku terjemahan, bisa nggak sih, buku-buku dari luar yang memang mau dipasarkan di sini, di cetak di Indonesia saja? Tanpa biaya penerjemahan tentunya bisa membuat harga jualnya lebih murah dibanding harga buku terjemahan, bukan? * berdasar hukum ekonomi, jika harga turun permintaan akan naik :p. Orang Indonesia bakal tambah pinter*

Apa itu akan membunuh industri buku terjemahan? Ya, nggaklah! walaupun nanti harganya lebih mahal, banyak orang yang akan memilih membeli edisi Indonesia, karena nggak mau pusing membaca dalam bahasa asing jadi rela aja bayar lebih mahal sedikit.

Begitu nggak sih?
Setuju?

*lagi mulai menunggu datangnya Harry Potter terakhir*

Tuesday, April 24, 2007

spring's milestone

Bukan dimaksud sebagai serenade
Cuma sebagai penanda
bahwa kamu adalah seseorang bagiku
bahwa aku tidak perlu lagi cemas
bahwa aku tidak perlu lagi menoleh

selamat berjuang, my savior!!
If love was a bird
Then we wouldn't have wings
If love was a sky
We'd be blue
If love was a choir
You and I could never sing
Cause love isn't for me and you

If love was a fire
Then we have lost the spark
Love never felt so cold
If love was a light
Then we're lost in the dark
Left with no one to hold

If love was a sport
We're not on the same team
You and I are destined to lose
If love was an ocean
Then we are just a stream
Cause love isn't for me and you

Girl I know we had some good times
It's sad but now we gotta say goodbye
Girl you know I love you, I can't deny
I can't say we didn't try to make it work for you and I
I know it hurts so much but it's best for us
Somewhere along this windy road we lost the trust
So I'll walk away so you don't have to see me cry
It's killing me so, why don't you go

So why don't you go your way
And I'll go mine
Live your life, and I'll live mine
Baby you'll do well, and I'll be fine
Cause we're better off, separated

dikutip dari lagu "separated" Usher
gambar dari sini

Thursday, April 05, 2007

mabuk film

Bahaya!
Aku sepertinya sudah terlalu kelebihan dosis nonton film.
Seminggu lalu, aku sudah dibilang tertulari semangat Amelie, buat mewujudkan Before Sunrise dengan cara Wedding Dates.
Lalu....
Minggu ini, aku mendadak ingat my own Before Sunrise version, dan terbingung-bingung memilih cara menyikapinya, apa harus ikut salah satu Fishism -nya Ally McBeal -- lebih banyak orang yang kecewa karena hal-hal yang tidak ia lakukan, bukan hal-hal yang ia lakukan-- atau di-Serendipity aja?

kacau, nih...
nggak jelas !!!

Tuesday, April 03, 2007

Surga cinta



Kalau aku sedang capek dan sedih dengan berita-berita buruk di Indonesia,
salah satu hal yang kulakukan sebagai hiburan adalah:
Browsing berita - berita tentang perkembangan musik Indonesia...
terutama perbandingannya dengan perkembangan muzik Malaysia.

Baik yang ditulis orang Indonesia maupun orang Malaysia.
Seperti ini:
Bahkan ada satu komentar (nggak tau di orang mana) dari wawancara dengan KC Ismail di atas yang membuatku geli:
#30. I read an article about an Indon, he said because Malaysian and Singaporean are very well treated (by government) and happy with their lives, they don't feel as deep and depress enough to create good music..Living conditions and suffering in Indo and Philippines makes the people more creative and expressive..Thus, the music from the 2 countries are very much better and appreciated because it truly comes from the heart..Probably very true..something to ponder.. Posted by jazzmate on 11-Jan-2005, 14:15 MYT

Walaupun teori itu dibantah, karena seperti UK dan US, penduduk di sana juga well treated, tapi musiknya maju.
Perkembangan musik di Indonesia memang membanggakan. Lagu-lagu, penyanyi-penyanyi dan musisi-musisi baru terus bermunculan dengan ciri mereka sendiri. Segar. Beragam.
Nggak semua aku suka, tapi ... yaa... salutlah!

Untuk hari ini, aku punya SUPER now playing, yaitu lagu "Surga Cinta" dari Ada Band (tadinya aku kirain yang nyanyi Peter Pan).
Kenapa?
Karena ada dua pengamen, di Bus 48 Grogol-Depok, yang menyanyikannya dengan sangat keren (saat mereka mulai nyanyi, tanpa sadar aku pelan-pelan melepas earphone-ku) yang membuat aku penasaran dengan lagu ini, dan pingin mendengarnya lagi dan lagi.
Berhubung yang bisa aku dapat --berkat bantuan oom googgle-- "cuma" rekaman Ada Band, bukan dua pengamen itu, ya... terpaksalah. Walaupun begitu satu hari ini sudah aku putar ulang sampai mendekati 100 kali. Dari yang pada awalnya nggak tau judul dan siapa yang nyanyiin, sampai udah hampir hafal liriknya.
Bahkan bakat-bakat itu bisa ditemukan di jalanan.

Tuesday, March 27, 2007

Now Playing

Album kedua maliq & d'essentials emang keren!
Grovy-nya "Heaven" yang bikin orang nggak bisa duduk tenang
atau mesin waktunya "Masih Tersimpan".
Sekarang udah hampir 3 mingguan dan belum bosen.

















Cuma, aku sedang jatuh cinta (lagi) dengan album Padi yang ini.
Mengagumi lagi kedahsyatan "Hitam" dan
menikmati teduhnya "Cahaya Mata".

Padi yang nggak ade matinye!

Tuesday, March 20, 2007

Keahlian khusus

dari sini

Orang-orang di sekitarku banyak yang memiliki keahlian unik dan yang nggak dimiliki semua orang. Misalnya:

  • Ada yang memiliki keahlian memilih tempat duduk di kendaraan biar nggak kepanasan kena sinar matahari. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan arah perjalanan dan posisi matahari, begitu masuk mobil nyaris tanpa berpikir.
  • Ada yang memiliki keahlian memperkirakan ukuran panjang, luas dan ruang tanpa perlu alat bantu ukur. Jadi lumayan kalau ngepak-ngepak barang, cukup dengan lihat aja udah tau mana yang muat dan mana yang butuh ruang lebih.
  • Ada yang memiliki keahlian untuk menawar harga. Nggak tahu bagaimana tapi bisa banget nego-negonya. Paling nggak akan lebih murah dibanding kalau aku beli sendiri.
  • Ada yang memiliki simpanan bermacam-macam tips. Mulai dari tips memilih jeruk sampai memilih suami. Mulai dari tips membeli ikan segar sampai membeli laptop.
  • Ada yang memiliki keahlian sebagai tukang sulap. Setiap dia datang, bunga-bunga warna-warni akan muncul di sekitar kita, tanpa tahu dari mana datangnya akan terdengar lagu-lagu indah dan aku akan merasa menjadi Rendra, yang dengan mudah menuliskan berjuta puisi.
  • Ada juga yang memiliki keahlian sebagai pengubah mood. Kalau dia atau dia (soalnya ada dua orang) datang, mood yang bagus-bagus akan hilang dan berubah jadi mood pingin kabur, atau mood pingin ngamuk, atau mood pingin bilang: ”males”

Sunday, March 18, 2007

orange mood

It’s not easy to make me angry
It’s hard to drive me mad
I can say it, proudly

Unfortunately,
I will get fail, easily
When it come to privacy


I think I deserve to have it
Not much
Just my own privacy

Unfortunately
I can't speak it out
I just quite person
Or maybe I'm just unfriendly kind of person
Sorry... I just can't help it

Wednesday, March 14, 2007

Bazar Komputer



Sepertinya aku harus meralat "bualan"ku dulu, bahwa cuma pesta buku yang bisa membuatku merasa ingin punya uang banyak. Karena ternyata waktu datang ke bazar komputer di JCC kemarin juga membuatku merasakan itu (selain mimpi untuk bertualang ke seluruh penjuru bumi).
Hari minggu kemarin adalah salah satu hari terborosku (baca = mengeluarkan uang dalam jumlah besar) sampai saat ini. Mungkin cuma bisa dikalahkan dengan saat aku harus membayar kontrakan rumahku, hehehe...
Untungnya, aku telah membuat kesepakatan dengan diriku sendiri bahwa aku tidak..mmmm mungkin, belum membutuhkan benda cantik ini dan benar-benar berjanji untuk hanya membeli yang kuperlukan. Jadi tidak terlalu tersiksa untuk mondar-mandir di sekitarnya.

Jadi kenapa sampai aku bilang boros?
Baca deh, yang aku bawa pulang dari bazar:
  1. Sarung untuk ipodku (now, u safe, baby!)
  2. Flashdisk 1GB murah meriah seharga 90ribu (yang sebenarnya aku belum perlu-perlu banget jadi aku jual ke Fetty )
  3. 1GB memory card buat kameraku (kebayang ngak bagaimana nanti aku bakal semena-mena motret, karena selama ini aku cuma pakai yang bawaan dari kameranya yang berukur 16MB!!).
  4. Dan tujuan utamaku datang ke pameran adalah
Kata Fetty, ini benda paling keren di kamarku hehehe....

Untung ngak tiap bulan ada pameran komputer (or buku?)
Kapan ya, bisa jadi orang kaya? Biar ngak norak kayak gini

Sunday, February 18, 2007

Pilihan

Layaknya makhluk hidup setiap hari...bahkan setiap saat, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan. Nggak semuanya mudah untuk diputuskan.
Aku sudah dibekali 'rule of thumb' untuk memilih. Yaitu untuk hal-hal tertentu, biasanya untuk pilihan salah dan benar, pilihlah pilihan yang sulit untuk dilakukan. Karena biasanya hal yang salah lebih mudah dan menyenangkan untuk dilakukan.
Misalnya, antara pilihan nyontek atau belajar. Jelas pilihan yang benar adalah belajar, walau nyontek mungkin jalan singkat yang lebih mudah. Rule of thumb itu aku perlukan karena kadang aku hanya mau melakukan yang menyenangkan saja, aku perlu sering diingatkan bahwa bagaimanapun yang benar yang harus dipilih.
*Tentunya bukan berarti kalau sedang berjalan kita jalan lewat hutan rimba penuh semak belukar yang kita pilih, bukannya lewat jalan raya mulus. Ya...pikir sendirilah, buat nempatinnya!*

Tetapi kadang tahu saja, tidaklah cukup. Perlu nyali dan tekad yang kuat untuk memilih yang benar. Mengingat yang salah itu begitu mudah dan lebih menyenangkan untuk dilakukan.




Seperti yang seharian ini harus aku perjuangkan.
Alhamdulillaah.... aku masih lumayan kuat
*smile*
Semoga akan begitu terus adanya.
Bahkan bertambah kuat

Tuesday, February 13, 2007

kopi dan donat

Pagi ini aku sarapan dengan dua potong donat dan secangkir kopi hangat.
Di ruang kerjaku. Sambil memandangi hujan yang membasahi pohon-pohon dan danau dari jendela di sampingku.

Nikmat banget.

Donat kampung yang kubeli seharga lima ratus rupiah dan kopi dari sesachet cappucino yang harganya juga lima ratusan.
*Satu potong donat di J.Co –yang glazzy sekalipun- nggak akan terbeli dengan total harga sarapanku*



gambar dari sini

Thursday, February 01, 2007

Nonton film

Beberapa bulan terakhir ini, nonton film adalah satu hal yang banyak aku lakukan untuk mengisi waktu di rumah. Kalau dulu paling seminggu sekali, sekarang bisa ... eh... lebih sering dan banyaklah! (Malu. Soalnya kalau lagi super iseng bisa parah).
Kenapa? Karena dulu buat nonton film, aku harus menyewa, tapi sekarang aku tinggal serumah dengan seorang movie freak yang seluruh koleksi filmnya mungkin baru akan bisa habis aku tonton dalam waktu satu -dua bulan...tanpa henti.
Selain itu, ada teman kuliahku, yang sekarang sedang menyukai film Korea, yang rajin menawariku pinjaman film-filmnya lengkap dengan uraian resensi versi dia sendiri.

Dulu aku juga suka nonton film, tapi pilih-pilih banget. Karena menurutku menonton film adalah kegiatan refreshing, maka aku lebih suka nonton film yang ringan, happy end dan yang membuatku terinspirasi. Aku suka film drama romantis (perempuan bangeeet!), tapi aku nggak suka yang sad end atau film menguras emosi. Bikin capek dan kepikiran.
Aku nggak suka film laga, horor, pembunuhan apa lagi...nyari stres aja! Selain itu aku suka film yang gambarnya bagus, cerah.. (kayak film-film Ang Lee, Happy Feet, untuk Indonesia, Vina bilang Cinta :D ) sampai kadang nggak merhatiin ceritanya hehehe...
Kalau moodku sedang bagus, baru aku mau nonton film yang agak-agak mikir, tapi tetap kalau bisa menghindar dari film-film yang suasananya suram (bikin mata capek).


Cuma sekarang, dari banyak-banyak nonton film itu, lama-lama aku bisa tahan dengan film penuh gejolak emosi, sad end dan keberadaan tokoh antagonis tanpa jadi terbawa-bawa. Sekarang, begitu si antagonis memulai taktik jahat atau si protagonis akan bertindak bodoh, maka akan ada yang berteriak di pikiranku,
"Ya emang begitu. Kalau nggak begitu, nggak bakal jadi film, cerita bakal datar aja"
atau
"Liat aja, nanti juga ada penyelesaiannya"
Soal sad end,
"Mungkin sad end. Tapi sadar nggak, kalau sebenarnya memang ending seperti itulah yang terbaik buat semua"
(ehm...agak-agak dibawa serius ya?)
Terlepas dari masalah bahwa ending satu film bisa dibilang sad end oleh satu orang dan happy end oleh orang lain.

Dan itu, terbawa ke dunia nyata. Membuatku cukup santai menghadapi (hampir) semua hal yang harus terjadi.


Manfaat banyak nonton film:
  1. Jadi tahu kalau dikejar penjahat dalam rumah, jangan naik ke lantai atas (lha, wong kontrakanku cuma satu lantai je...)
  2. Upgrade bahasa Inggris, asal nonton jangan pakai subtitle Indonesia (Melayu apalagi!)
  3. Bisa jadi pelampiasan emosi, kalau sedang bete tapi nggak bisa nangis nonton aja film yang sedih-sedih, habis itu lega (ingat jangan nonton sinetron, atau film Indonesia kacangan, karena justru bikin kita marah-marah atau kebalikannya sakit perut kebanyakan ketawa)
  4. Tambahan koleksi quote (?) (favoritku: "Jadi ini salah gue? Salah temen-temen gue?" AADC, atau "You...completed me" Jerry Maguire)
  5. Bisa lihat model -model baju (Baju -baju Rory -Gilmore Girl-, jaket-jaketnya Irwansyah :p -Heart-)

Thursday, January 25, 2007

Aku, teman-teman dan dunia

dari sini
Pernah nggak merasa gini: sedang menghadapi kehilangan yang besar atau menghadapi masalah yang pelik banget dan semua terasa kacau balau.

Tapi waktu kita keluar rumah, kita merasa asing karena ternyata dunia tetap berjalan seperti biasa. Dan tidak ada yang berubah karena masalah yang kita hadapi.

Sadarlah kita kalau ternyata ada jarak antara dunia kita dengan dunia luar, kalau ternyata orang-orang memang hidup dalam dunianya sendiri-sendiri.
Dan kadang tidak peduli (atau mungkin tidak tahu ) dengan apa yang kita alami

Critanya,

Semalam waktu aku sedang membuat draft revisi proposalku (yang lagi-lagi dikembalikan dengan koreksi di sana-sini), ada sms masuk dari satu temanku. Minta didoain (n kalau sempat nengok) karena putra pertamanya masuk rumah sakit terkena DBD dan tifus.

Tau-tau rasanya seperti ada sebagian dari energiku yang terserap oleh sms itu.
Karena aku merasa betapa jauh duniaku dan dunianya (padahal beberapa tahun lalu kita teman sekamar).
Bukan cuma karena dia yang sudah punya 2 anak dan aku yang belum ada tanda-tanda ke arah itu, tapi bahkan untuk malam itu saja kondisi yang kita alami begitu berbeda. Dia di kamar rawat rumah sakit, cemas, capek tapi nggak bisa tidur dibanding aku di kamar, nyaman dan nyaris tanpa beban.
Tak peduli walaupun aku dan dia selama ini masih rajin berkomunikasi buat meng-update kondisi masing-masing, tetap saja dunia kita terasa tidak terhubung. Apalagi untuk teman-temanku yang lain yang jarang kutau kabarnya.

Agak iseng. Kemudian aku meng-sms 5 orang temanku yang dulunya cukup dekat, tapi lama tak kutau kabarnya. Cuma bilang:

"Apa kabar? Lama nggak masuk acara infotainment. Baik-baik aja kan?"
Tanpa nama.

Hasilnya: ada 3 sms balasan, 1 tidak masuk dan 1 tidak dibalas.

Dari 3 sms yang masuk:

Orang pertama:
"Alhamdulillaah, ya begini, lagi menata hati yang rusak. Metri pakabar?"
(kenapa? aku cuma berani berkomentar tanpa berani bertanya kenapa. Kalo mau cerita, ia bakal cerita)

Orang kedua:
"Iya ni, kangen lab. Di sini capek, aku lagi di Surabaya sekarang. Metri pakabar? Ada gosip nggak di lab?"
(hehehe... tetep, yang ditanyain gosip. Bekerja sebagai auditor di kantor audit ternama, memang sudah berarti penyitaan waktu dan energi dalam proporsi yang besar)

Orang ketiga:
"Ini siapa, ya?"
(Haaa.... ??!! Bahkan setelah aku balas dengan menyebutkan namakupun, dia tetap salah orang)

"Maaf, aku baru migrasi ke halo jadi banyak nomor yang ilang. Ini metri teman sma, kan?"
(waaaaaa..... dua kemungkinan: nomorku nggak ikut termasuk nomor yang di-save ke hp sebelum ganti sim card atau dia maen ngasih simcard lama gitu aja? Teman SMA??!)

Orang keempat (yang nggak balas sms), siangnya menelpon ke hpku.
"Ini nomor siapa ya?"
(waaaaaa... lagi-lagi ! Sewaktu aku protes)

"Aku simpan nomormu kok, cuma beda nih, sama nomor kamu sekarang. Yang sekarang depannya pake +62 ...."
(rotflol)

Maaf, ya teman-teman kalo tidak berkenan kata-katanya aku jadiin tulisan begini.
Karena aku cuma sedang menyadarkan diri-sendiri, kalo kita, manusia memang hidup sendiri cuma kadang jalan kita saling bersinggungan atau berpotongan di titik-titik tertentu. Dan aku lagi pingin memperbanyak titik-titik potong itu, mungkin komunikasi bisa sedikit menolong.

Yang jelas aku juga mesti, mengevaluasi ulang caraku berteman, biar orang-orang nggak sakit hati sama aku sampai menghapus nomorku dari memory mereka.

Tuesday, January 23, 2007

Indonesia kenapa, ya?

dari sini

Sedih deh, baca tulisan ini.
Apalagi pas dibanding-bandingin ama negara lain.

(perbandingan yang apple to apple gak sih sebenarnya?)
Walau kenyataannya kondisi negara kita emang lagi parah................






==================================
January 11, 2007


INDONESIA: NATURAL DISASTERS OR MASS MURDER?

By Andre Vltchek

Another day, another unnecessary loss of lives: 16 people killed and 16
still missing in floods and landslides on a small island Tahuna off
Indonesia's Sulawesi.

At an alarming rate, Indonesia is replacing Bangladesh and India as the
most disaster-prone nation on earth. Whenever the word Indonesia appears
on the list of headlines on Yahoo news, chances are that another
enormous and unnecessary tragedy occurred on one of the islands of this
sprawling archipelago.

Airplanes are disappearing or sliding off the runways, ferries are
sinking or simply decomposing on the high seas, trains crash or get
derailed at average rate of one per week, illegal passengers falling
through the rusty roofs. Illegal garbage dumps bury under its stinking
content desperate communities of scavengers. Landslides are taking
carton-like houses to the ravines; earthquakes and tidal waves are
destroying coastal cities and villages. Forest fires from Sumatra are
choking huge area of Southeast Asia.

The scope of disasters is unprecedented and it is absurd to discount
them simply as nation's bad luck or as the wrath of gods or the nature.
Corruption, incompetence and simple indifference of ruling elites and
government officials are mostly to blame. It is poverty, lack of public
projects and kleptomania that kills hundreds of thousands of desperate
Indonesian men, women and children.

Since 1965 US-sponsored military coup that deposed Sukarno, installing
a military regime of staunch anti-communist and corrupt pro-market
dictator Suharto, Indonesia escapes serious scrutiny by the western
media and governments. After Suharto stepped down in 1998, it is being
hailed by mass media as emerging and increasingly tolerant democracy.

Some of these disasters are man-made; almost all of them are
preventable. At closer scrutiny it becomes obvious that people die due
to almost non-existent prevention, lack of education (Indonesia has the
third lowest spending on education as percentage of its GDP, after
Equatorial Guinea and Ecuador) and savage pro-market economic system
which allows enrichment of very few at the expense of the majority which lives under 2 dollars a
day.
Conclusions can be terrifying casting light on the way the present-day
Indonesian society functions. However, to avoid this exposure would
doubtlessly lead to further loss of precious lives of hundreds of
thousands of people.

Indonesia is profit-driven to the extreme. It is also one of the most
corrupt nations on the face of the earth. And there seems to be no
immediate profit to be made from implementing preventive measures. Dams
and anti-tsunami walls are almost everywhere considered to be public
works and exactly this word - public - had almost disappeared from the
lexicon of those who make decisions in Indonesia. Short-term profit for
particular group of individuals is given much higher priority than
long-term gains for the entire nation. Moral collapse of the nation is
reflected in the scale of values: corrupt but rich individuals command
incomparably higher respect than those who are honest but poor.

Ferries are sinking not "because of high winds and waves"; they sink
because they are overcrowded and badly maintained, or more precisely
because they are allowed to be overcrowded and badly maintained.
Everything is for sale, even the safety of thousands of passengers.
Companies care only about their profits, while government inspectors are
mainly interested in bribes.
Recent well publicized sinking of Senopati Nusantara killed hundreds of
people, but it was just one of hundreds of maritime disasters that occur
in Indonesia each year. While there are no exact statistics available
(for predictable reasons, Indonesian government makes sure to avoid
publishing comprehensive comparative statistics), some maritime routes
lose 3 or more vessels a year.
Indonesian airline industry has one of the worst safety records in the
world. Since 1997, at least 666 people died in 8 major separate airplane
crashes in Indonesia. Some of the pilots are so badly trained that
planes often skip off the runway, miss runway altogether or land in the
middle of it. Maintenance is another issue: flaps often don't function
properly, wheels cannot get in after take-off, seldom changed tires have
tendency to blow up upon touch down. It is a mystery how do some
airplanes - particularly old Boeings 737s flown by almost all Indonesian airlines -
make it through the inspections.

After consulting with local civil aviation officials (who obviously do
not want to be identified), your correspondent learned that the
navigation systems at several major Indonesian airports are in
disastrous state, particularly those at Makassar in Sulawesi and Medan
in Sumatra.

On average, there is one deadly train accident every six days in
Indonesia, many caused by the lack of gates at its 8.000 level
crossings. In comparison Malaysia had no fatal accident for 13 years up
to 2005 (last year for which statistics are available).

Despite the fact that Indonesia has relatively small number of cars per
capita, its roads are the "most used" of any networks in the world
(second only to Hong Kong which is not a country): 5.7 million
vehicle-km per year of road network (2003, The Economist World in
Figures, 2007 Edition).
Despite this epic congestion and generally slow pace of traffic, 80
plus people die on average every day on Indonesian road, mostly due to
the terrible state of the infrastructure and poor law-enforcement,
according to The Financial Times.

Earthquakes alone do not kill people. Poor construction of houses and
buildings are the culprits, together with the lack of preventive
measures and preventive education. It is well known fact that Indonesia
is prone to natural disasters; that it is located on so called ring of
fire. But the poor can count on no massive public housing projects (like
those in neighboring Malaysia), which could withstand earthquakes.
Almost each family is on its own: it has to design and build its own
dwelling.
Major earthquakes kill hundreds, sometimes thousands of people, leaving
hundreds of thousand homeless. At least 5.800 people died and 36.000
were injured on May 27, 2006 during 6.3-magnitute earthquake which hit
central Java near historic city of Yogyakarta. Primitive infrastructure,
inadequate medical facilities and corruption in distribution of aid are
to blame for unacceptably high number of casualties after each major
tremor.

Illegal logging and deforestation are the main reasons for the
landslides. It is well known who is responsible for the forest fires in
Sumatra and elsewhere, but officials are reluctant to make arrests, as
those responsible for de-forestation are often rich and well connected
in the country where even justice is for sale. There are countless
solutions to this problem, including law-enforcement, inspections and
attempt to provide alternative means for livelihood to those communities
that are so desperate that they are literally forced to participate in
digging their own graves by destroying environment that is in return
annihilating entire communities. But almost nothing is done, as illegal
logging is huge and lucrative business that can grease hundreds of
willing palms.

Last month, dozens of people were killed in landslides and flush floods
in north of Sumatra Island, which forced some 400.000 people to flee
their homes. In June 2006, floods and landslides triggered by heavy
rains killed more than 200 people in south Sulawesi province.

Tidal wave, known as tsunami, killed more than 126.000 people in Aceh
province in December 2004. Not only was response of Indonesian
government and military forces inexcusably slow and inadequate, large
part of massive foreign aid disappeared in corruption. Instead of
helping victims, many members of Indonesian military were extorting
bribes from relief agencies and destroying precious supplies or drinking
water and food in case that bribes were not paid. In a scandalous
land-grab sponsored by the government, many victims were prevented from
returning to their own land while children were forcefully separated
from their parents (who lost birth certificates during the tragedy) and
"adopted" by religious organizations; some falling victims to human
trafficking. More than two years after this devastating tragedy,
hundreds of thousands are living in temporary housing.

Many victims of yet another tsunami, which hit the coast of southern
Java in July 17, 2006, are still waiting for any substantial help. At
official count, 600 people died, but the real number was almost
certainly much higher. Indonesian officials received early warning from
Japan but refused to act, later claiming that there was not much they
could do, as the
Area was not equipped with the sirens or loudspeakers.

Indonesia often suffers from some man-made disasters beyond any
comprehension and comparison. Recent "mud flood" inundated entire
villages right outside Surabaya. It occurred due to inadequate safety
procedures of a gas exploration company (co-owned by one of the cabinet
ministers). This "accident" displaced more than 10.000 people, covering
over 1.000 acres of land with hot mud, destroying the only motorway of
Surabaya as well as the major railway line. Garbage buried entire
communities of poor scavengers at illegal dumping site outside Bandung. There are many more
cases of similar nature, but complete list would require too much space
- probably entire book dedicated to the subject.

The question is when will Indonesian people say that enough is enough
and when will they demand accountability and justice, exact statistics
and concrete blueprint for solutions? In almost any other country, two
recent disasters - grizzly sinking of Senopati Nusantara and
"disappearance" of Adam Air Boeing 737 with 102 people on board - would
be more than enough to force cabinet ministers to resign. In Indonesia,
these tragedies are seen (or presented) as yet another misfortune
without holding anyone responsible or accountable.

Indonesian press and mass media are reporting each and every disaster
in details. But they are failing to establish that what is happening
there is extraordinary and intolerable, that there is probably no other
major country in the world that is experiencing such unnecessary and
devastating loss of human lives due to disasters that are either
man-made or easily preventable.

To link enormous number of lost human lives in countless disasters with
corruption and socio-economic system is determinately discouraged.
Jakarta Post, leading daily newspaper in Indonesia, recently suppressed
this commentary, refusing to publish it on its pages.

Since December 2004, Indonesia has lost around 200 thousand people in
various disasters, not counting car accidents and military conflicts
ranging all over its archipelago. That's more than Iraq lost in the same
period of time, more than Sri Lanka or Peru lost during their long civil
wars. Indeed, many Indonesians are experiencing life, which is as
dangerous and hazardous as that in the war-torn parts of the world. Most
of them don't realize it, as comparative statistics are not available or
are suppressed.

Indonesia is poor, but it is still in the position to protect some of
its most vulnerable citizens. The main problem is that there is no
political will. There is plenty of concrete and bricks to build dams and
walls against tsunamis, to reinforce the hills around the towns, which
are in danger of being buried by the landslides. One just has to look
around Jakarta where dozens of unnecessary new shopping malls are
growing in several locations, where kitschy palaces of corrupt officials
cover acres of land.

Unwillingness to deal with the problems has roots mostly in corruption.
Local companies and officials developed unique ability to make profits
from everything, even from disasters and from the suffering of millions
of fellow citizens. In simplified terms, corruption is stealing from the
public. But when the toll has to be calculated in hundreds of thousands
of lost human lives, it becomes mass murder.

Andre Vltchek: novelist, journalist and filmmaker, co-founder of
Mainstay Press (www.mainstaypress. org), senior Fellow at Oakland
Institute (www.oaklandinstitut e.org). He presently resides and works in
Southeast Asia and South Pacific and can be reached at:
andre-wcn@usa. net

Monday, December 11, 2006

katanya..katanya....

*pingiiiiiiiiiiiin!*

"Katanya 3G nggak akan laku dan sebentar lagi nggak kepakai, karena akan ada teknologi baru lagi", kata seseorang padaku, suatu ketika,"Liat aja, kemarin-kemarin MMS kan nggak laku".

Aku yang tadinya cuma manggut-manggut karena nggak tau arah obrolannya jadi bengong.
Kayaknya sekarang aku tau deh, maksud omongannya.
Jadi buat meyakinkan diri-sendiri, aku jadi browsing-browsing apa itu 3G sebenarnya. Dan ketemu orang ini yang sepertinya tahu apa yang aku rasakan.
Moga-moga yang bersangkutan rela tulisannya aku link di sini, soalnya mau minta ijin langsung, mesti login dulu...males