Friday, April 27, 2007

Buku Impor vs Buku Terjemahan


Semalam aku menyampuli buku Stiglitz-ku, sudah lama kubeli, hanya baru sekarang aku sempat melakukannya. Buku ini merupakan terjemahan dari buku aslinya yang berjudul The Roaring Nineties: A New History of the World’s Most Prosperous Decade. Diterbitkan di New York. Diterjemahkan ke dalam edisi Bahasa Indonesia menjadi DEKADE KESERAKAHAN : Era '90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia. Dan dengan bangga penerbitnya memamerkan bahwa buku ini dilengkapi pengantar khusus edisi Indonesia yang ditulis oleh Stiglitz sendiri, khusus untuk edisi Indonesia ini.

Pihak redaksi sempat menceritakan kesulitan yang dialami untuk mendapatkan pengantar khusus ini, bahkan penerbitan buku pun sempat mundur untuk menunggu selesainya pembuatan kata pengantar tersebut.

Penerjemahan dan penambahan kata pengantar tentu berarti biaya. Biaya yang tidak perlu dikeluarkan oleh penerbitnya di New York.

Tapi kenapa harga buku import itu justru jauh lebih mahal dibanding buku terjemahannya di sini? Bahkan harga buku impor sebelum ditambah biaya pengiriman pun sudah jauh lebih mahal. Misalnya untuk buku Roaring tadi di Amazon , sebelum ditambah shipping dan import fee, harganya $24.65, dengan kurs hari ini jadi sekitar Rp 223.822,00. Padahal harga edisi Indonesia dari penerbitnya hanya Rp 63.500,- *perasaan, waktu aku beli harganya malah lebih murah dari itu*.

Jadi menurutku kemungkinan masalahnya ada di biaya cetak. Mungkin tinta di sini memakai yang aspal, kualitas kertas yang kurang bagus atau juga tenaga kerja yang lebih murah? Atau karena di sini lebih dekat dengan semua bahan produksi itu?

Jadi, tanpa bermaksud menentang penerbitan buku-buku terjemahan, bisa nggak sih, buku-buku dari luar yang memang mau dipasarkan di sini, di cetak di Indonesia saja? Tanpa biaya penerjemahan tentunya bisa membuat harga jualnya lebih murah dibanding harga buku terjemahan, bukan? * berdasar hukum ekonomi, jika harga turun permintaan akan naik :p. Orang Indonesia bakal tambah pinter*

Apa itu akan membunuh industri buku terjemahan? Ya, nggaklah! walaupun nanti harganya lebih mahal, banyak orang yang akan memilih membeli edisi Indonesia, karena nggak mau pusing membaca dalam bahasa asing jadi rela aja bayar lebih mahal sedikit.

Begitu nggak sih?
Setuju?

*lagi mulai menunggu datangnya Harry Potter terakhir*

Tuesday, April 24, 2007

spring's milestone

Bukan dimaksud sebagai serenade
Cuma sebagai penanda
bahwa kamu adalah seseorang bagiku
bahwa aku tidak perlu lagi cemas
bahwa aku tidak perlu lagi menoleh

selamat berjuang, my savior!!
If love was a bird
Then we wouldn't have wings
If love was a sky
We'd be blue
If love was a choir
You and I could never sing
Cause love isn't for me and you

If love was a fire
Then we have lost the spark
Love never felt so cold
If love was a light
Then we're lost in the dark
Left with no one to hold

If love was a sport
We're not on the same team
You and I are destined to lose
If love was an ocean
Then we are just a stream
Cause love isn't for me and you

Girl I know we had some good times
It's sad but now we gotta say goodbye
Girl you know I love you, I can't deny
I can't say we didn't try to make it work for you and I
I know it hurts so much but it's best for us
Somewhere along this windy road we lost the trust
So I'll walk away so you don't have to see me cry
It's killing me so, why don't you go

So why don't you go your way
And I'll go mine
Live your life, and I'll live mine
Baby you'll do well, and I'll be fine
Cause we're better off, separated

dikutip dari lagu "separated" Usher
gambar dari sini

Thursday, April 05, 2007

mabuk film

Bahaya!
Aku sepertinya sudah terlalu kelebihan dosis nonton film.
Seminggu lalu, aku sudah dibilang tertulari semangat Amelie, buat mewujudkan Before Sunrise dengan cara Wedding Dates.
Lalu....
Minggu ini, aku mendadak ingat my own Before Sunrise version, dan terbingung-bingung memilih cara menyikapinya, apa harus ikut salah satu Fishism -nya Ally McBeal -- lebih banyak orang yang kecewa karena hal-hal yang tidak ia lakukan, bukan hal-hal yang ia lakukan-- atau di-Serendipity aja?

kacau, nih...
nggak jelas !!!

Tuesday, April 03, 2007

Surga cinta



Kalau aku sedang capek dan sedih dengan berita-berita buruk di Indonesia,
salah satu hal yang kulakukan sebagai hiburan adalah:
Browsing berita - berita tentang perkembangan musik Indonesia...
terutama perbandingannya dengan perkembangan muzik Malaysia.

Baik yang ditulis orang Indonesia maupun orang Malaysia.
Seperti ini:
Bahkan ada satu komentar (nggak tau di orang mana) dari wawancara dengan KC Ismail di atas yang membuatku geli:
#30. I read an article about an Indon, he said because Malaysian and Singaporean are very well treated (by government) and happy with their lives, they don't feel as deep and depress enough to create good music..Living conditions and suffering in Indo and Philippines makes the people more creative and expressive..Thus, the music from the 2 countries are very much better and appreciated because it truly comes from the heart..Probably very true..something to ponder.. Posted by jazzmate on 11-Jan-2005, 14:15 MYT

Walaupun teori itu dibantah, karena seperti UK dan US, penduduk di sana juga well treated, tapi musiknya maju.
Perkembangan musik di Indonesia memang membanggakan. Lagu-lagu, penyanyi-penyanyi dan musisi-musisi baru terus bermunculan dengan ciri mereka sendiri. Segar. Beragam.
Nggak semua aku suka, tapi ... yaa... salutlah!

Untuk hari ini, aku punya SUPER now playing, yaitu lagu "Surga Cinta" dari Ada Band (tadinya aku kirain yang nyanyi Peter Pan).
Kenapa?
Karena ada dua pengamen, di Bus 48 Grogol-Depok, yang menyanyikannya dengan sangat keren (saat mereka mulai nyanyi, tanpa sadar aku pelan-pelan melepas earphone-ku) yang membuat aku penasaran dengan lagu ini, dan pingin mendengarnya lagi dan lagi.
Berhubung yang bisa aku dapat --berkat bantuan oom googgle-- "cuma" rekaman Ada Band, bukan dua pengamen itu, ya... terpaksalah. Walaupun begitu satu hari ini sudah aku putar ulang sampai mendekati 100 kali. Dari yang pada awalnya nggak tau judul dan siapa yang nyanyiin, sampai udah hampir hafal liriknya.
Bahkan bakat-bakat itu bisa ditemukan di jalanan.

Tuesday, March 27, 2007

Now Playing

Album kedua maliq & d'essentials emang keren!
Grovy-nya "Heaven" yang bikin orang nggak bisa duduk tenang
atau mesin waktunya "Masih Tersimpan".
Sekarang udah hampir 3 mingguan dan belum bosen.

















Cuma, aku sedang jatuh cinta (lagi) dengan album Padi yang ini.
Mengagumi lagi kedahsyatan "Hitam" dan
menikmati teduhnya "Cahaya Mata".

Padi yang nggak ade matinye!

Tuesday, March 20, 2007

Keahlian khusus

dari sini

Orang-orang di sekitarku banyak yang memiliki keahlian unik dan yang nggak dimiliki semua orang. Misalnya:

  • Ada yang memiliki keahlian memilih tempat duduk di kendaraan biar nggak kepanasan kena sinar matahari. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan arah perjalanan dan posisi matahari, begitu masuk mobil nyaris tanpa berpikir.
  • Ada yang memiliki keahlian memperkirakan ukuran panjang, luas dan ruang tanpa perlu alat bantu ukur. Jadi lumayan kalau ngepak-ngepak barang, cukup dengan lihat aja udah tau mana yang muat dan mana yang butuh ruang lebih.
  • Ada yang memiliki keahlian untuk menawar harga. Nggak tahu bagaimana tapi bisa banget nego-negonya. Paling nggak akan lebih murah dibanding kalau aku beli sendiri.
  • Ada yang memiliki simpanan bermacam-macam tips. Mulai dari tips memilih jeruk sampai memilih suami. Mulai dari tips membeli ikan segar sampai membeli laptop.
  • Ada yang memiliki keahlian sebagai tukang sulap. Setiap dia datang, bunga-bunga warna-warni akan muncul di sekitar kita, tanpa tahu dari mana datangnya akan terdengar lagu-lagu indah dan aku akan merasa menjadi Rendra, yang dengan mudah menuliskan berjuta puisi.
  • Ada juga yang memiliki keahlian sebagai pengubah mood. Kalau dia atau dia (soalnya ada dua orang) datang, mood yang bagus-bagus akan hilang dan berubah jadi mood pingin kabur, atau mood pingin ngamuk, atau mood pingin bilang: ”males”

Sunday, March 18, 2007

orange mood

It’s not easy to make me angry
It’s hard to drive me mad
I can say it, proudly

Unfortunately,
I will get fail, easily
When it come to privacy


I think I deserve to have it
Not much
Just my own privacy

Unfortunately
I can't speak it out
I just quite person
Or maybe I'm just unfriendly kind of person
Sorry... I just can't help it

Wednesday, March 14, 2007

Bazar Komputer



Sepertinya aku harus meralat "bualan"ku dulu, bahwa cuma pesta buku yang bisa membuatku merasa ingin punya uang banyak. Karena ternyata waktu datang ke bazar komputer di JCC kemarin juga membuatku merasakan itu (selain mimpi untuk bertualang ke seluruh penjuru bumi).
Hari minggu kemarin adalah salah satu hari terborosku (baca = mengeluarkan uang dalam jumlah besar) sampai saat ini. Mungkin cuma bisa dikalahkan dengan saat aku harus membayar kontrakan rumahku, hehehe...
Untungnya, aku telah membuat kesepakatan dengan diriku sendiri bahwa aku tidak..mmmm mungkin, belum membutuhkan benda cantik ini dan benar-benar berjanji untuk hanya membeli yang kuperlukan. Jadi tidak terlalu tersiksa untuk mondar-mandir di sekitarnya.

Jadi kenapa sampai aku bilang boros?
Baca deh, yang aku bawa pulang dari bazar:
  1. Sarung untuk ipodku (now, u safe, baby!)
  2. Flashdisk 1GB murah meriah seharga 90ribu (yang sebenarnya aku belum perlu-perlu banget jadi aku jual ke Fetty )
  3. 1GB memory card buat kameraku (kebayang ngak bagaimana nanti aku bakal semena-mena motret, karena selama ini aku cuma pakai yang bawaan dari kameranya yang berukur 16MB!!).
  4. Dan tujuan utamaku datang ke pameran adalah
Kata Fetty, ini benda paling keren di kamarku hehehe....

Untung ngak tiap bulan ada pameran komputer (or buku?)
Kapan ya, bisa jadi orang kaya? Biar ngak norak kayak gini

Sunday, February 18, 2007

Pilihan

Layaknya makhluk hidup setiap hari...bahkan setiap saat, kita dihadapkan pada pilihan-pilihan. Nggak semuanya mudah untuk diputuskan.
Aku sudah dibekali 'rule of thumb' untuk memilih. Yaitu untuk hal-hal tertentu, biasanya untuk pilihan salah dan benar, pilihlah pilihan yang sulit untuk dilakukan. Karena biasanya hal yang salah lebih mudah dan menyenangkan untuk dilakukan.
Misalnya, antara pilihan nyontek atau belajar. Jelas pilihan yang benar adalah belajar, walau nyontek mungkin jalan singkat yang lebih mudah. Rule of thumb itu aku perlukan karena kadang aku hanya mau melakukan yang menyenangkan saja, aku perlu sering diingatkan bahwa bagaimanapun yang benar yang harus dipilih.
*Tentunya bukan berarti kalau sedang berjalan kita jalan lewat hutan rimba penuh semak belukar yang kita pilih, bukannya lewat jalan raya mulus. Ya...pikir sendirilah, buat nempatinnya!*

Tetapi kadang tahu saja, tidaklah cukup. Perlu nyali dan tekad yang kuat untuk memilih yang benar. Mengingat yang salah itu begitu mudah dan lebih menyenangkan untuk dilakukan.




Seperti yang seharian ini harus aku perjuangkan.
Alhamdulillaah.... aku masih lumayan kuat
*smile*
Semoga akan begitu terus adanya.
Bahkan bertambah kuat

Tuesday, February 13, 2007

kopi dan donat

Pagi ini aku sarapan dengan dua potong donat dan secangkir kopi hangat.
Di ruang kerjaku. Sambil memandangi hujan yang membasahi pohon-pohon dan danau dari jendela di sampingku.

Nikmat banget.

Donat kampung yang kubeli seharga lima ratus rupiah dan kopi dari sesachet cappucino yang harganya juga lima ratusan.
*Satu potong donat di J.Co –yang glazzy sekalipun- nggak akan terbeli dengan total harga sarapanku*



gambar dari sini

Thursday, February 01, 2007

Nonton film

Beberapa bulan terakhir ini, nonton film adalah satu hal yang banyak aku lakukan untuk mengisi waktu di rumah. Kalau dulu paling seminggu sekali, sekarang bisa ... eh... lebih sering dan banyaklah! (Malu. Soalnya kalau lagi super iseng bisa parah).
Kenapa? Karena dulu buat nonton film, aku harus menyewa, tapi sekarang aku tinggal serumah dengan seorang movie freak yang seluruh koleksi filmnya mungkin baru akan bisa habis aku tonton dalam waktu satu -dua bulan...tanpa henti.
Selain itu, ada teman kuliahku, yang sekarang sedang menyukai film Korea, yang rajin menawariku pinjaman film-filmnya lengkap dengan uraian resensi versi dia sendiri.

Dulu aku juga suka nonton film, tapi pilih-pilih banget. Karena menurutku menonton film adalah kegiatan refreshing, maka aku lebih suka nonton film yang ringan, happy end dan yang membuatku terinspirasi. Aku suka film drama romantis (perempuan bangeeet!), tapi aku nggak suka yang sad end atau film menguras emosi. Bikin capek dan kepikiran.
Aku nggak suka film laga, horor, pembunuhan apa lagi...nyari stres aja! Selain itu aku suka film yang gambarnya bagus, cerah.. (kayak film-film Ang Lee, Happy Feet, untuk Indonesia, Vina bilang Cinta :D ) sampai kadang nggak merhatiin ceritanya hehehe...
Kalau moodku sedang bagus, baru aku mau nonton film yang agak-agak mikir, tapi tetap kalau bisa menghindar dari film-film yang suasananya suram (bikin mata capek).


Cuma sekarang, dari banyak-banyak nonton film itu, lama-lama aku bisa tahan dengan film penuh gejolak emosi, sad end dan keberadaan tokoh antagonis tanpa jadi terbawa-bawa. Sekarang, begitu si antagonis memulai taktik jahat atau si protagonis akan bertindak bodoh, maka akan ada yang berteriak di pikiranku,
"Ya emang begitu. Kalau nggak begitu, nggak bakal jadi film, cerita bakal datar aja"
atau
"Liat aja, nanti juga ada penyelesaiannya"
Soal sad end,
"Mungkin sad end. Tapi sadar nggak, kalau sebenarnya memang ending seperti itulah yang terbaik buat semua"
(ehm...agak-agak dibawa serius ya?)
Terlepas dari masalah bahwa ending satu film bisa dibilang sad end oleh satu orang dan happy end oleh orang lain.

Dan itu, terbawa ke dunia nyata. Membuatku cukup santai menghadapi (hampir) semua hal yang harus terjadi.


Manfaat banyak nonton film:
  1. Jadi tahu kalau dikejar penjahat dalam rumah, jangan naik ke lantai atas (lha, wong kontrakanku cuma satu lantai je...)
  2. Upgrade bahasa Inggris, asal nonton jangan pakai subtitle Indonesia (Melayu apalagi!)
  3. Bisa jadi pelampiasan emosi, kalau sedang bete tapi nggak bisa nangis nonton aja film yang sedih-sedih, habis itu lega (ingat jangan nonton sinetron, atau film Indonesia kacangan, karena justru bikin kita marah-marah atau kebalikannya sakit perut kebanyakan ketawa)
  4. Tambahan koleksi quote (?) (favoritku: "Jadi ini salah gue? Salah temen-temen gue?" AADC, atau "You...completed me" Jerry Maguire)
  5. Bisa lihat model -model baju (Baju -baju Rory -Gilmore Girl-, jaket-jaketnya Irwansyah :p -Heart-)

Thursday, January 25, 2007

Aku, teman-teman dan dunia

dari sini
Pernah nggak merasa gini: sedang menghadapi kehilangan yang besar atau menghadapi masalah yang pelik banget dan semua terasa kacau balau.

Tapi waktu kita keluar rumah, kita merasa asing karena ternyata dunia tetap berjalan seperti biasa. Dan tidak ada yang berubah karena masalah yang kita hadapi.

Sadarlah kita kalau ternyata ada jarak antara dunia kita dengan dunia luar, kalau ternyata orang-orang memang hidup dalam dunianya sendiri-sendiri.
Dan kadang tidak peduli (atau mungkin tidak tahu ) dengan apa yang kita alami

Critanya,

Semalam waktu aku sedang membuat draft revisi proposalku (yang lagi-lagi dikembalikan dengan koreksi di sana-sini), ada sms masuk dari satu temanku. Minta didoain (n kalau sempat nengok) karena putra pertamanya masuk rumah sakit terkena DBD dan tifus.

Tau-tau rasanya seperti ada sebagian dari energiku yang terserap oleh sms itu.
Karena aku merasa betapa jauh duniaku dan dunianya (padahal beberapa tahun lalu kita teman sekamar).
Bukan cuma karena dia yang sudah punya 2 anak dan aku yang belum ada tanda-tanda ke arah itu, tapi bahkan untuk malam itu saja kondisi yang kita alami begitu berbeda. Dia di kamar rawat rumah sakit, cemas, capek tapi nggak bisa tidur dibanding aku di kamar, nyaman dan nyaris tanpa beban.
Tak peduli walaupun aku dan dia selama ini masih rajin berkomunikasi buat meng-update kondisi masing-masing, tetap saja dunia kita terasa tidak terhubung. Apalagi untuk teman-temanku yang lain yang jarang kutau kabarnya.

Agak iseng. Kemudian aku meng-sms 5 orang temanku yang dulunya cukup dekat, tapi lama tak kutau kabarnya. Cuma bilang:

"Apa kabar? Lama nggak masuk acara infotainment. Baik-baik aja kan?"
Tanpa nama.

Hasilnya: ada 3 sms balasan, 1 tidak masuk dan 1 tidak dibalas.

Dari 3 sms yang masuk:

Orang pertama:
"Alhamdulillaah, ya begini, lagi menata hati yang rusak. Metri pakabar?"
(kenapa? aku cuma berani berkomentar tanpa berani bertanya kenapa. Kalo mau cerita, ia bakal cerita)

Orang kedua:
"Iya ni, kangen lab. Di sini capek, aku lagi di Surabaya sekarang. Metri pakabar? Ada gosip nggak di lab?"
(hehehe... tetep, yang ditanyain gosip. Bekerja sebagai auditor di kantor audit ternama, memang sudah berarti penyitaan waktu dan energi dalam proporsi yang besar)

Orang ketiga:
"Ini siapa, ya?"
(Haaa.... ??!! Bahkan setelah aku balas dengan menyebutkan namakupun, dia tetap salah orang)

"Maaf, aku baru migrasi ke halo jadi banyak nomor yang ilang. Ini metri teman sma, kan?"
(waaaaaa..... dua kemungkinan: nomorku nggak ikut termasuk nomor yang di-save ke hp sebelum ganti sim card atau dia maen ngasih simcard lama gitu aja? Teman SMA??!)

Orang keempat (yang nggak balas sms), siangnya menelpon ke hpku.
"Ini nomor siapa ya?"
(waaaaaa... lagi-lagi ! Sewaktu aku protes)

"Aku simpan nomormu kok, cuma beda nih, sama nomor kamu sekarang. Yang sekarang depannya pake +62 ...."
(rotflol)

Maaf, ya teman-teman kalo tidak berkenan kata-katanya aku jadiin tulisan begini.
Karena aku cuma sedang menyadarkan diri-sendiri, kalo kita, manusia memang hidup sendiri cuma kadang jalan kita saling bersinggungan atau berpotongan di titik-titik tertentu. Dan aku lagi pingin memperbanyak titik-titik potong itu, mungkin komunikasi bisa sedikit menolong.

Yang jelas aku juga mesti, mengevaluasi ulang caraku berteman, biar orang-orang nggak sakit hati sama aku sampai menghapus nomorku dari memory mereka.

Tuesday, January 23, 2007

Indonesia kenapa, ya?

dari sini

Sedih deh, baca tulisan ini.
Apalagi pas dibanding-bandingin ama negara lain.

(perbandingan yang apple to apple gak sih sebenarnya?)
Walau kenyataannya kondisi negara kita emang lagi parah................






==================================
January 11, 2007


INDONESIA: NATURAL DISASTERS OR MASS MURDER?

By Andre Vltchek

Another day, another unnecessary loss of lives: 16 people killed and 16
still missing in floods and landslides on a small island Tahuna off
Indonesia's Sulawesi.

At an alarming rate, Indonesia is replacing Bangladesh and India as the
most disaster-prone nation on earth. Whenever the word Indonesia appears
on the list of headlines on Yahoo news, chances are that another
enormous and unnecessary tragedy occurred on one of the islands of this
sprawling archipelago.

Airplanes are disappearing or sliding off the runways, ferries are
sinking or simply decomposing on the high seas, trains crash or get
derailed at average rate of one per week, illegal passengers falling
through the rusty roofs. Illegal garbage dumps bury under its stinking
content desperate communities of scavengers. Landslides are taking
carton-like houses to the ravines; earthquakes and tidal waves are
destroying coastal cities and villages. Forest fires from Sumatra are
choking huge area of Southeast Asia.

The scope of disasters is unprecedented and it is absurd to discount
them simply as nation's bad luck or as the wrath of gods or the nature.
Corruption, incompetence and simple indifference of ruling elites and
government officials are mostly to blame. It is poverty, lack of public
projects and kleptomania that kills hundreds of thousands of desperate
Indonesian men, women and children.

Since 1965 US-sponsored military coup that deposed Sukarno, installing
a military regime of staunch anti-communist and corrupt pro-market
dictator Suharto, Indonesia escapes serious scrutiny by the western
media and governments. After Suharto stepped down in 1998, it is being
hailed by mass media as emerging and increasingly tolerant democracy.

Some of these disasters are man-made; almost all of them are
preventable. At closer scrutiny it becomes obvious that people die due
to almost non-existent prevention, lack of education (Indonesia has the
third lowest spending on education as percentage of its GDP, after
Equatorial Guinea and Ecuador) and savage pro-market economic system
which allows enrichment of very few at the expense of the majority which lives under 2 dollars a
day.
Conclusions can be terrifying casting light on the way the present-day
Indonesian society functions. However, to avoid this exposure would
doubtlessly lead to further loss of precious lives of hundreds of
thousands of people.

Indonesia is profit-driven to the extreme. It is also one of the most
corrupt nations on the face of the earth. And there seems to be no
immediate profit to be made from implementing preventive measures. Dams
and anti-tsunami walls are almost everywhere considered to be public
works and exactly this word - public - had almost disappeared from the
lexicon of those who make decisions in Indonesia. Short-term profit for
particular group of individuals is given much higher priority than
long-term gains for the entire nation. Moral collapse of the nation is
reflected in the scale of values: corrupt but rich individuals command
incomparably higher respect than those who are honest but poor.

Ferries are sinking not "because of high winds and waves"; they sink
because they are overcrowded and badly maintained, or more precisely
because they are allowed to be overcrowded and badly maintained.
Everything is for sale, even the safety of thousands of passengers.
Companies care only about their profits, while government inspectors are
mainly interested in bribes.
Recent well publicized sinking of Senopati Nusantara killed hundreds of
people, but it was just one of hundreds of maritime disasters that occur
in Indonesia each year. While there are no exact statistics available
(for predictable reasons, Indonesian government makes sure to avoid
publishing comprehensive comparative statistics), some maritime routes
lose 3 or more vessels a year.
Indonesian airline industry has one of the worst safety records in the
world. Since 1997, at least 666 people died in 8 major separate airplane
crashes in Indonesia. Some of the pilots are so badly trained that
planes often skip off the runway, miss runway altogether or land in the
middle of it. Maintenance is another issue: flaps often don't function
properly, wheels cannot get in after take-off, seldom changed tires have
tendency to blow up upon touch down. It is a mystery how do some
airplanes - particularly old Boeings 737s flown by almost all Indonesian airlines -
make it through the inspections.

After consulting with local civil aviation officials (who obviously do
not want to be identified), your correspondent learned that the
navigation systems at several major Indonesian airports are in
disastrous state, particularly those at Makassar in Sulawesi and Medan
in Sumatra.

On average, there is one deadly train accident every six days in
Indonesia, many caused by the lack of gates at its 8.000 level
crossings. In comparison Malaysia had no fatal accident for 13 years up
to 2005 (last year for which statistics are available).

Despite the fact that Indonesia has relatively small number of cars per
capita, its roads are the "most used" of any networks in the world
(second only to Hong Kong which is not a country): 5.7 million
vehicle-km per year of road network (2003, The Economist World in
Figures, 2007 Edition).
Despite this epic congestion and generally slow pace of traffic, 80
plus people die on average every day on Indonesian road, mostly due to
the terrible state of the infrastructure and poor law-enforcement,
according to The Financial Times.

Earthquakes alone do not kill people. Poor construction of houses and
buildings are the culprits, together with the lack of preventive
measures and preventive education. It is well known fact that Indonesia
is prone to natural disasters; that it is located on so called ring of
fire. But the poor can count on no massive public housing projects (like
those in neighboring Malaysia), which could withstand earthquakes.
Almost each family is on its own: it has to design and build its own
dwelling.
Major earthquakes kill hundreds, sometimes thousands of people, leaving
hundreds of thousand homeless. At least 5.800 people died and 36.000
were injured on May 27, 2006 during 6.3-magnitute earthquake which hit
central Java near historic city of Yogyakarta. Primitive infrastructure,
inadequate medical facilities and corruption in distribution of aid are
to blame for unacceptably high number of casualties after each major
tremor.

Illegal logging and deforestation are the main reasons for the
landslides. It is well known who is responsible for the forest fires in
Sumatra and elsewhere, but officials are reluctant to make arrests, as
those responsible for de-forestation are often rich and well connected
in the country where even justice is for sale. There are countless
solutions to this problem, including law-enforcement, inspections and
attempt to provide alternative means for livelihood to those communities
that are so desperate that they are literally forced to participate in
digging their own graves by destroying environment that is in return
annihilating entire communities. But almost nothing is done, as illegal
logging is huge and lucrative business that can grease hundreds of
willing palms.

Last month, dozens of people were killed in landslides and flush floods
in north of Sumatra Island, which forced some 400.000 people to flee
their homes. In June 2006, floods and landslides triggered by heavy
rains killed more than 200 people in south Sulawesi province.

Tidal wave, known as tsunami, killed more than 126.000 people in Aceh
province in December 2004. Not only was response of Indonesian
government and military forces inexcusably slow and inadequate, large
part of massive foreign aid disappeared in corruption. Instead of
helping victims, many members of Indonesian military were extorting
bribes from relief agencies and destroying precious supplies or drinking
water and food in case that bribes were not paid. In a scandalous
land-grab sponsored by the government, many victims were prevented from
returning to their own land while children were forcefully separated
from their parents (who lost birth certificates during the tragedy) and
"adopted" by religious organizations; some falling victims to human
trafficking. More than two years after this devastating tragedy,
hundreds of thousands are living in temporary housing.

Many victims of yet another tsunami, which hit the coast of southern
Java in July 17, 2006, are still waiting for any substantial help. At
official count, 600 people died, but the real number was almost
certainly much higher. Indonesian officials received early warning from
Japan but refused to act, later claiming that there was not much they
could do, as the
Area was not equipped with the sirens or loudspeakers.

Indonesia often suffers from some man-made disasters beyond any
comprehension and comparison. Recent "mud flood" inundated entire
villages right outside Surabaya. It occurred due to inadequate safety
procedures of a gas exploration company (co-owned by one of the cabinet
ministers). This "accident" displaced more than 10.000 people, covering
over 1.000 acres of land with hot mud, destroying the only motorway of
Surabaya as well as the major railway line. Garbage buried entire
communities of poor scavengers at illegal dumping site outside Bandung. There are many more
cases of similar nature, but complete list would require too much space
- probably entire book dedicated to the subject.

The question is when will Indonesian people say that enough is enough
and when will they demand accountability and justice, exact statistics
and concrete blueprint for solutions? In almost any other country, two
recent disasters - grizzly sinking of Senopati Nusantara and
"disappearance" of Adam Air Boeing 737 with 102 people on board - would
be more than enough to force cabinet ministers to resign. In Indonesia,
these tragedies are seen (or presented) as yet another misfortune
without holding anyone responsible or accountable.

Indonesian press and mass media are reporting each and every disaster
in details. But they are failing to establish that what is happening
there is extraordinary and intolerable, that there is probably no other
major country in the world that is experiencing such unnecessary and
devastating loss of human lives due to disasters that are either
man-made or easily preventable.

To link enormous number of lost human lives in countless disasters with
corruption and socio-economic system is determinately discouraged.
Jakarta Post, leading daily newspaper in Indonesia, recently suppressed
this commentary, refusing to publish it on its pages.

Since December 2004, Indonesia has lost around 200 thousand people in
various disasters, not counting car accidents and military conflicts
ranging all over its archipelago. That's more than Iraq lost in the same
period of time, more than Sri Lanka or Peru lost during their long civil
wars. Indeed, many Indonesians are experiencing life, which is as
dangerous and hazardous as that in the war-torn parts of the world. Most
of them don't realize it, as comparative statistics are not available or
are suppressed.

Indonesia is poor, but it is still in the position to protect some of
its most vulnerable citizens. The main problem is that there is no
political will. There is plenty of concrete and bricks to build dams and
walls against tsunamis, to reinforce the hills around the towns, which
are in danger of being buried by the landslides. One just has to look
around Jakarta where dozens of unnecessary new shopping malls are
growing in several locations, where kitschy palaces of corrupt officials
cover acres of land.

Unwillingness to deal with the problems has roots mostly in corruption.
Local companies and officials developed unique ability to make profits
from everything, even from disasters and from the suffering of millions
of fellow citizens. In simplified terms, corruption is stealing from the
public. But when the toll has to be calculated in hundreds of thousands
of lost human lives, it becomes mass murder.

Andre Vltchek: novelist, journalist and filmmaker, co-founder of
Mainstay Press (www.mainstaypress. org), senior Fellow at Oakland
Institute (www.oaklandinstitut e.org). He presently resides and works in
Southeast Asia and South Pacific and can be reached at:
andre-wcn@usa. net

Monday, December 11, 2006

katanya..katanya....

*pingiiiiiiiiiiiin!*

"Katanya 3G nggak akan laku dan sebentar lagi nggak kepakai, karena akan ada teknologi baru lagi", kata seseorang padaku, suatu ketika,"Liat aja, kemarin-kemarin MMS kan nggak laku".

Aku yang tadinya cuma manggut-manggut karena nggak tau arah obrolannya jadi bengong.
Kayaknya sekarang aku tau deh, maksud omongannya.
Jadi buat meyakinkan diri-sendiri, aku jadi browsing-browsing apa itu 3G sebenarnya. Dan ketemu orang ini yang sepertinya tahu apa yang aku rasakan.
Moga-moga yang bersangkutan rela tulisannya aku link di sini, soalnya mau minta ijin langsung, mesti login dulu...males

price, pride, prestige…...

dari sini

Menonton final ganda putra bulu tangkis ASIAN Games 2006, malam minggu kemarin benar-benar membuat aku kecewa.
Pertama, memang karena Indonesia (
Alvent Yulianto/Luluk Hadiyanto) kalah, straight set dan yang mengalahkan adalah musuh bebuyutan kita di bulu tangkis, Malaysia.
Tapi ya, emang
Alvent Yulianto/Luluk Hadiyanto mainnya nggak bagus, atau mungkin lawannya emang lagi main bagus. Aku nggak tahu, -harap maklum udah lama nggak mengikuti perkembangan bulu tangkis sekarang-, biasanya mereka mainnya gimana. Tapi ya, menyedihkanlah…dan bukan pertandingan yang penuh perlawanan sengit yang membuatnya enak untuk ditonton.
Tetapi yang lebih menyedihkan…mengecewakan buatku adalah karena pelatih tim Malaysia adalah Rexy Mainaky…..
Aku tu nggak ngerti ya, apa aku yang terlalu naïf mengartikan nasionalitas. Bahwa menurutku nasionalitas nggak terbeli dengan apapun (price, pride, prestige…)?
Atau apa aku yang terlalu sempit mengartikan kalo seseorang -yang sudah sering mewakili Indonesia- melatih tim negara lain (Malaysia!!!!!) dan ‘kebetulan’ di final ketemu negaranya sendiri dan bisa mengalahkannya itu artinya ia sudah kehilangan nasionalitasnya?
Nggak tau juga apa rasa kecewa campur kesal ini karena yang mengalahkan adalah Malaysia?


Trivia (-trivian):

  1. Walaupun banyak yang menentang, tetapi mulai pertengahan 2006, bulu tangkis memakai cara penghitungan nilai baru , dari semula 15 x 3, sekarang menjadi 21 x 3 dengan sistem relly point. Bagi pemain yang lama panasnya sistem ini jelas merugikan, -kalo dulu tu model Susi Susanti gitu- karena pas dia udah benar-benar siap, ternyata nilainya sudah ketinggalan jauh. Alasan IBF : agar waktu pertandingan lebih bisa diprediksi (jadi TV-TV nggak be-te?), agar kesenjangan nilai tidak terlalu jauh dan tidak akan ada yang mendapat nilai nol. Dan agar lebih banyak iklan masuk?
  2. Saat ini, peringkat satu dunia untuk tunggal putra adalah Lin Dan dari China, yang pada final tunggal putra perseorangan Asian Games 2006 ini dikalahkan Taufik Hidayat. Sementara Taufik Hidayat berada di peringkat 8 dunia. Dari keseluruhan kategori hanya ganda putra Alvent Yulianto/Luluk Hadiyanto wakil Indonesia yang berada dalam 2 besar. Koo Kien Keat/Tan Boon Heong yang mengalahkan mereka berada di peringkat 8 dunia.
  3. Prestasi pemain putri memang sudah parah sejak lama. Dan saat ini tidak ada yang masuk peringkat 20 besar sekalipun. Untuk tunggal putri Indonesia, peringkat paling tinggi adalah Firdasari Adrianti berada di peringkat 48 dunia. Untuk ganda putri, ada yang menduduki peringkat 21 dunia Novita dan Nurlita (siapa mereka? Aku juga baru tahu nama mereka saja :p). Untuk ganda campuran, cukup lumayan ada Nova Widianto/Lilyana Natsir di peringkat 5 dunia/
  4. Januari 2006, Rexy Mainaky (ternyata) sudah menjadi pelatih Malaysia (sebelumnya menjadi Pelatih Bulu Tangkis di Inggris) dan di Kejuaraan All England, pemain-pemainnya sudah mulai mengalahkan pemain Indonesia, -aku baru tau…..-

Sumber: dari sini

Wednesday, November 22, 2006

radio...o..o..radio....

gambar dari sini

Tau nggak bedanya radio bagus ama radio nggak bagus?

Radio bagus, kebanyakan muter lagu (bagus-bagus sih lagunya), jadi nunggu-nunggu kapan penyiarnya ngomong.
Radio je...eh nggak bagus, penyiarnya kebanyakan ngomong padahal, maap-maap, omongannya garing banget, jadi nunggu-nunggu kapan muter lagu

Wednesday, November 15, 2006

free as a bird

gambar dari sini
dekanat lantai 3, nunggu orang belum ada yang datang

free·dom

n.

1. The condition of being free of restraints.

2. Liberty of the person from slavery, detention, or oppression.

3. a. Political independence.

b. Exemption from the arbitrary exercise of authority in the performance of a specific action; civil liberty: freedom of assembly.

4. Exemption from an unpleasant or onerous condition: freedom from want.

5. The capacity to exercise choice; free will: We have the freedom to do as we please all afternoon.

sumber dikutip dari sini

Kebebasan adalah kondisi bebas tekanan, kapasitas untuk melakukan pilihan, free will.

Setuju banget. Kebebasan adalah kemerdekaan untuk menentukan pilihan, tetapi bukan berarti lepas dari tanggung jawab. Karena justru saat kita diberi kebebasan hampir seluruh tanggung jawab hidup kita akan ada dalam beban kita. Juga resikonya.

Hanya saja kita bebas untuk memilih apakah kita mau makan di warteg atau di resto mahal, apakah kita mau nyuci baju sekarang atau besok, mau jalan sama si Jahe atau Kencur, mau masak atau malas-malasan….

Sejauh ini sudah ada tiga caraku dalam menikmati kebebasan.

Saat-saat awal aku merasa mendapat kebebasan, saat itu kebebasan itu seperti kebebasan seekor burung yang dilepas dari sangkarnya. Menyenangkan dan membingungkan. Memungkinkan aku bereksperimen dengan cara hidupku. Dan membentuk sisi lainku yang baru. Hanya saja saat kembali ke sangkar aku masih kembali ke sisi lamaku.

Bertahun kemudian kadang kebebasan kurasakan seperti boomerang. Karena aku mulai bosan dan lelah untuk terus-terusan harus menentukan pilihan sepanjang hidupku. Jadi setiap kali jika memungkinkan aku akan meminta seseorang membuat pilihan untukku, heheheh…..

Pada tahap ini pula aku begitu menikmati setiap kali ada orang-orang yang marah padaku. *jangan-jangan jablai…upsssssssss!*

Sampai sekarang saat kebebasan sudah menjadi kebiasaaanku. Air minumku …nafasku. Jadi saat batas-batas itu terusik, rasanya sangat tidak nyaman. Siapa kamu? Apa hak kamu nyuruh-nyuruh aku begini dan begitu?

Sampai semingguan ini tau-tau ada sepotong lirik lagu lama yang berlalu lalang di pikiranku

“….bahagia meski mungkin tak sebebas merpati” *I bet you know who sang this song*

Kebahagiaan seperti apa yang bisa menukar kebebasan itu?

Thursday, November 09, 2006

scent of a woman

Aku mungkin sekarang udah mulai centil, mungkin juga pengaruh pergaulan, mungkin gara-gara waktu itu baca novel Perfume, kalo sekarang aku jadi mulai tertarik memperhatikan berbagai wewangian dan kadang ikutan pakai.

Ternyata wangi-wangian itu ada tingkatannya. *Buat yang udah tau, ya nggak usah diterusin baca. Bagi yang belum tau, ya buat sekedar tau aja. Siapa tau ada gunanya.*

Parfum itu bias digolongkan berdasarkan kadar sari wewangian dan kadar alkohol yang menjadi campurannya.

Kadar tertinggi terdapat pada parfum, karena essensnya mencapai 20 persen, asli tanpa campuran alkohol. Konon parfum yang beneran cuma bisa dipake dengan cara dioles. Mahal juga kalo harus disemprot, kali!

Eau de Perfume, setingkat di bawah parfum yang mempunyai kadar essens 15 persen dan sedikit dicampur alkohol. Keistimewaannya, aroma wewangiannya tahan lama dan kuat lebih sesuai digunakan pada malam hari.

Eau de Toilette, jenis wewangian lain yang kadar essensnya hanya berkisar 12 persen dan sebaliknya kadar alkoholnya lebih tinggi. Wewangian ini merupakan pilihan yang paling ideal untuk sehari-hari, karena aromanya ringan, tidak terlalu tajam serta awet. Eau de Cologne, jenis wewangian paling standar dan ringan meliputi aneka toilet waters termasuk tisu penyegar dan sebagainya, yang menonjolkan kesegaran alami. Hampir seluruhnya merupakan alkohol dan diberi sedikit essens. Jenis pewangi ringan ini biasa digunakan pada saat selesai mandi, untuk melembutkan kulit serta menyegarkan tubuh.

Parfum yang sama baunya tidak sama jika dipakai oleh dua orang yang berbeda. Kalau menurut novel Perfume, tiap orang punya scent sendiri-sendiri. Kalo si Jean-Baptiste Grenouille malah bisa mencium bau seorang perawan yang menurutnya seperti bau buah plum.

Jadi tiap orang akan punya wangi yang khas apapun parfum yang dipakainya. Tetapi ada yang mencoba mencocokkan jenis-jenis parfum dengan kepribadian orangnya: *terserah, boleh nggak percaya, tapi percaya juga nggak ada yang melarang*

Wanita sportif. Wanita aktif, jujur, berpendirian teguh, sering kurang sabar. Jenis ini meliputi wanita segala umur. Karena gemar di alam bebas, pewangi yang cocok adalah yang berbau tumbuh-tumbuhan liar dan terbuat dari tanaman-tanaman pewangi ringan.

Wanita periang, gesit. Suka berada di mana-mana, jenis yang menarik mudah menaruh minat pada sesuatu tetapi mudah pula mengubah pendiriannya, mudah menangkap sesuatu, tidak anti rayuan lelaki mudah memanfaatkan, kurang setia. Perkiraan tabiat ini seperti dimaksud umumnya berlaku untuk usia antara 20-45 tahun.

Mereka mempunyai gagasan-gagasan modern dan kretif, progresif, cepat bertindak. Mereka suka pewangi yang tidak biasa dan tidak kolot, tetapi tidak berat.

Wanita romantis. Pemikirannya sederhana dan tak berbelit-belit, mempunyai cita-cita yang tinggi karenanya bersifat pemaku. Kesederhanaan merupakan daya tariknya. Ia termasuk wanita muda yang polos. Mereka senang pewangi yang jelas berbau bunga yang mempunyai arti romantis, seperti: mawar, melati, lily.

Wanita pintar. Berpendirian praktis, ingin segala sesuatu harus tepat, bersifat agak pendiam, setia, dapat memegang teguh rahasia, bersedia memberikan nasehat. Dalam jenis ini termasuk wanita yang cukup dewasa dalam pemikiran. Mereka menggunakan pewangi sederhana yang memberi kesan dingin dan mempesona, tetapi berkesan agak sportif.

Wanita dewasa. Wanita jenis ini biasanya berusia sekitar 30 tahun ke atas. Dalam pergaulan sangat menjaga penampilan. Mereka cocok dengan parfum yang exotis dengan keharuman wangi-wangian dari negara tropis atau berhawa panas.

Mau beli parfum buat suami/istri, saudara, teman?

Membeli wewangian untuk orang lain bukan hal yang mudah, jadi berikut ada panduan dari webscents dan mungkin justru artinya lebih kena kalau pakai bahasa Inggris, jadi nggak aku terjemahin :

· Buying fragrance for your Wife / Partner

When buying for your wife or partner, you want to send out a romantic, sensual and loving message. Look for exotic, floral herb fragrances in the form of Eau de Perfume or Perfum. Suggestions: Thierry Mugler Angel, Gucci Rush, Dolce & Gabbana Light Blue.

· Buying fragrance for your Husband / Partner

When buying for your husband or partner, you want to send out a sensual loving message. Look for spicy, citrus and woody fragrances in the form of Eau de Toilette or Eau de Cologne. Suggestions: Joop Homme, Dolce Aftershave, Burberry Weekend.

· Buying fragrance for you Father, Grandad or Uncle

When buying for a family loved one, look for a sturdy classic fragrance that ephesises your relationship. Fragrances with essence of oak wood/moss and even tobacco, in the form of classic men’s aftershaves are often well received. Suggestions: Dolce Aftershave.

· Buying fragrance for you Mother, Grandma or Aunty

When buying for a family loved one, look for a classic feminine fragrance that reflects your feelings toward this person. Fragrances with a floral bouquet such as, rose, jasmine or lily are often firm favourites, in the form of Eau de Toilette or Eau de Perfume. Suggestions: Dolce & Gabbana Light Blue Perfume, Joop Femme Perfume.

· Buying for your Son, Grandson, Nephew

When buying for a younger member of the family or friend, citrus and oriental fragrances embody youthful, freshness and vitality. Look for Eau de Toilette or aftershaves that have been recently launched and fashionable. Suggestions: Diesel Plus Plus, Diesel Zero Plus, Lacoste Style in Play Aftershave, Burberry Weekend.

· Buying for your Daughter, Grandaughter, Niece

When buying for a younger member of the family or friend, citrus, floral fragrances embody youthful, freshness and vitality. Look for Eau de Toilette or Eau de Perfume that has been recently launched and fashionable. Suggestions: Britney Spears Curious Perfume, Diesel Plus Plus Perfume, Lacoste Touch of Pink Perfume.

Do & Don’t for Perfume

DO

  1. Gunakan parfum lebih banyak jika Anda memiliki jenis kulit kering
  2. Pilih parfum dengan aroma yang lebih kuat saat cuaca dingin. Suhu dingin mengurangi kekuatan aroma parfum.
  3. Lebih baik membeli parfum di malam hari. Saat itu indera penciuman Anda lebih tajam.
  4. Cobalah parfum pada kulit Anda sendiri. Masing-masing orang memiliki chemistry kulit yang berbeda.* hehehe…susah nih, kadang seluruh telapak tangan suka udah penuh buat nyoba berbagai macam parfum, jadi kadang minjem tangan orang juga*
  5. Gunakan parfum sesaat setelah mandi. Saat itu pori-pori terbuka dan menyerap wanginya.
  6. Simpan parfum di tempat yang kering dan dingin. Jangan diletakkan di tempat yang terkena sinar matahari langsung dan dengan suhu ekstrim agar wanginya tidak berubah

DON’T

  1. Menggunakan sabun deodoran ketika Anda memakai parfum
  2. Menyemprotkan parfum di dekat mutiara atau perhiasan lain. Alkoholnya bisa merusak lapisan perhiasan.
  3. Mencoba dua atau tiga parfum bersamaan. Indera penciuman Anda bisa bingung. *baunya bikin pusing juga kaleee*
  4. Menggunakan parfum pada pakaian. Alkohol dan warna parfum bisa merusak kain

(sumber dari suara merdeka,webscents, bodyshop, dll)

Tuesday, October 17, 2006

Pulang yuukkk!

foto dari sini
Mudik..pulang kampung...pulang basamo...
artinya sama saja, pulang ke tempat asal biasanya saat menjelang Lebaran.

Dulu
Di masa kecilku, dulu yang biasa pulang kampung cuma mbak-mbak dari kampungku yang bekerja sebagai babu di Jakarta. Aku dan saudara-saudaraku biasanya menyempatkan diri mengintip mereka saat baru turun dari bis di depan rumah kami. Biasanya mereka pulang secara berombongan dengan gaya berpakaian dan cara bicara bahasa Indonesia dengan campur Jawa dengan logat Jawa yang -sumpah- norak! (Fyi, dulu orang di tempatku belum terbiasa ngomong pake bahasa Indonesia).
Jadi kesan yang tertanam di benak kita saat itu adalah pulang kampung itu norak, pulang kampung tu identik dengan babu.

Sekarang

Pulang kampung sekarang sudah jadi masalah tahunan buat negara ini
Dan sudah hampir sepuluh kali aku menjalani ritual itu.
Apa aku juga norak? Entahlah...
Apa aku nyari susah? Mungkin...
Cuma aku nggak mampu aja, buat nggak pulang.
Lebaran di Jakarta?
Mmmmm... terimakasih, deh!

Udah ah, siap-siap pulang yuk!
Siapkan tiket dan ransel pulang.
Jangan lupa siapkan oleh-oleh buat yang di rumah
Jangan lupa buku & walkman (hari geneee?!) biar nggak bengong di jalan
Jangan lupa makanan buat buka dan sahur di jalan
Jangan lupa kamera buat merekam hari-hari yang jarang kita nikmati
Jangan lupa tetap semangat ibadah ramadhannya! (sambil ngaca :p)
Sampai jumpa di rumah!

p.s
Cuma ada yang tau nggak sih? kata mudik itu asalnya dari mana?
Mudik = Mulih dilik??

Tuesday, October 10, 2006

Jenuh

Maaf, ku jenuh padamu
lama sudah kupendam
tertahan di bibir ku
---rio febrian----

bosen ....
pikiran udah nggak ada di sini.

bosen...
kok lama-lama blogku isinya tambah nggak mutu
curhat melulu
SmileyCentral.com